Saturday 26 April 2008

Langkah Jitu Mengelola Amarah

Salah satu sifat mulia yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah sikap memaafkan:

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (QS. Al Qur’an, 7:199)

Dalam ayat lain Allah berfirman: "...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22)

Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:

... dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)

Juga dinyatakan dalam Al Qur'an bahwa pemaaf adalah sifat mulia yang terpuji. "Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia." (Qur'an 42:43) Berlandaskan hal tersebut, kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an, "...menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain." (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)

Para peneliti percaya bahwa pelepasan hormon stres, kebutuhan oksigen yang meningkat oleh sel-sel otot jantung, dan kekentalan yang bertambah dari keeping-keping darah, yang memicu pembekuan darah menjelaskan bagaimana kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika marah, detak jantung meningkat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan oleh karenanya memperbesar kemungkinan terkena serangan jantung.

Pemahaman orang-orang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup sesuai ajaran Al Qur'an. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Karena mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang beriman juga mampu memaafkan walau sebenarnya mereka benar dan orang lain salah. Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi, orang-orang beriman tahu bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai takdir tertentu, dan karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak pernah terbelenggu oleh amarah.

Menurut penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian, gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stress [tekanan jiwa], susah tidur dan sakit perut sangatlah berkurang pada orang-orang ini.

Memaafkan, adalah salah satu perilaku yang membuat orang tetap sehat, dan sebuah sikap mulia yang seharusnya diamalkan setiap orang

Dalam bukunya, Forgive for Good [Maafkanlah demi Kebaikan], Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri seseorang. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa:

Permasalahan tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh. Ketika Anda terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir jernih – memperburuk keadaan.

Sebuah tulisan berjudul "Forgiveness" [Memaafkan], yang diterbitkan Healing Current Magazine [Majalah Penyembuhan Masa Kini] edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain.

Semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain, meskipun terasa berat, terasa membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji, yang menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan, dan membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin. Namun, tujuan sebenarnya dari memaafkan –sebagaimana segala sesuatu lainnya – haruslah untuk mendapatkan ridha Allah. Kenyataan bahwa sifat-sifat akhlak seperti ini, dan bahwa manfaatnya telah dibuktikan secara ilmiah, telah dinyatakan dalam banyak ayat Al Qur’an, adalah satu saja dari banyak sumber kearifan yang dikandungnya.

PILIH MARAH!!! ATAU MARAH?

Marah memang menimbulkan situasi serba salah. Kalau kita melampiaskan begitu saja, beberapa jenis penyakit menunggu kita. Sebaliknya, bila kita memendamnya penyakit lain bakal mengadang. Tapi jangan khawatir, ada cara jitu untuk mengelolanya secara sehat.

Setiap orang pasti pernah mengalami marah, kendati cuma sekali sepanjang hidupnya. Entah diungkapkan atau cuma dipendam dalam hati. Kalaupun kemarahan dikeluarkan, caranya tidak sama antara satu orang dengan yang lainnya. Seseorang bisa marah secara meledak-ledak atau meluap-luap, yang lain cukup dengan pasang muka "ditekuk" atau melakukan aksi tutup mulut. Dalam hal ini, kaum wanita biasanya menangis sebagai pengungkapan kemarahan yang tak tertahan.

Banyak hal yang bisa membuat kita marah. Namun, umumnya kita marah bila hak-hak atau nilai-nilai yang kita junjung diinjak-injak orang lain, harga diri kita dijatuhkan, atau jengkel bercampur kecewa terhadap keadaan yang dihadapi. Marah bisa pula disebabkan oleh ketidakadilan, kekurangbebasan, rasa iri hati, atau perasaan tidak aman.

Dalam "bergaul" dengan marah kita acap kali berada dalam keadaan terjepit. Maju kena, mundur pun kena. Pengekangan kuat terhadap keinginan untuk "meledak" mengakibatkan depresi serta mengurangi motivasi dan kreativitas. Sebaliknya, kalau amarah dan kemarahan tidak dikelola secara benar, korbannya adalah hubungan kita dengan orang lain sebagai pribadi maupun mitra kerja. Siksaan dalam rumah tangga, amuk massa, kekerasan di tempat kerja, perceraian, dan kecanduan (obat terlarang) hanyalah sedikit contoh dari apa yang bakal terjadi ketika kita salah dalam mengelola amarah. Yang lebih mengerikan, pengelolaan amarah yang salah ternyata menjadi salah satu biang keladi lahirnya beberapa penyakit.

Begitu pun, marah juga mengandung manfaat. Hasil penelitian Institute for Mental Health Initiatives mengungkapkan bahwa marah bisa berarti sehat. Bahkan, lebih sehat ketimbang memendam perasaan jengkel. Kuncinya, pengelolaan secara sehat.

Mengundang penyakit

Kendati marah tergolong manusiawi dan tidak selalu negatif, lembaga tadi menganjurkan untuk marah tidak secara sembarangan. Kunci untuk marah yang sehat adalah pengendalian, tepat waktu, dan dengan porsi tidak berlebihan. Tanpa itu semua, marah justru menjadi bumerang.

Suatu penelitian belum lama ini mengungkapkan, orang yang marahnya tak terkendali berpeluang menderita stroke dua kali lebih besar ketimbang mereka yang menunjukkan kemarahannya secara kalem. Keseringan menahan amarah pun tidak dianjurkan, karena justru berisiko terserang hipertensi.

Marah yang lepas kendali juga mendorong orang bersangkutan melakukan tindakan fisik dan batiniah. Tindakan batiniah yang dimaksud adalah menghilangkan atau mengganggu ketenangan orang yang menyebabkan kita marah, apalagi kalau orang itu sampai mengeluarkan kata-kata menyakitkan.

Bahkan, marah bisa membunuh diri kita sendiri, terutama kalau kita mengidap penyakit jantung atau berisiko terserang penyakit jantung. Proses bunuh diri yang tidak disadari ini bisa berlangsung cepat, bisa pula lambat, tergantung ketahanan fisik dan mental yang bersangkutan.

Penelitian lain menunjukkan, emosi tak terkendali atau tak tersalurkan juga akan merusak fungsi organ, mudah terserang penyakit, dan menderita ketegangan otot atau kekacauan metabolisme. Selain itu, bisa menghentikan proses pencernaan, meningkatkan denyut jantung, dan menjadikan napas terengah-engah.

Di dalam darah orang marah terkandung banyak hormon adrenalin. Hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal ini akan dilepaskan ke dalam darah ketika ada rangsangan emosi. Akibat berikutnya, denyut jantung bertambah cepat dan tekanan darah meninggi. Kalau keadaan ini sering terjadi, hipertensi, serangan jantung, dan penyakit lain akan mudah datang.

Dr. Ernest H., seorang pakar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Michigan, Amerika Serikat, menyatakan, seseorang yang mudah marah, yang selalu mengungkapkan kemarahannya dengan meledak-ledak, banyak yang menderita penyakit hipertensi.

Suatu studi yang dilakukan oleh sebuah tim di Boston, AS, juga telah membuktikannya. Dalam penelitian itu, para pakar melibatkan 1.305 orang pria berusia 40 – 90 tahun. Mereka, di antaranya pemarah yang bisa mengendalikan kemarahannya, dicatat kesehatannya sejak 1986.

Di awal penelitian tak satu pun menderita penyakit jantung. Bagaimana di akhir penelitian? Ternyata 20 orang mengalami gangguan jantung fatal, 30 orang mengalami gangguan jantung biasa, dan 60 orang terkena gejala nyeri dada. Sebuah bukti yang menunjukkan adanya korelasi antara marah dan risiko terkena serangan jantung dan nyeri dada, meskipun marahnya masih terkendali.

Yang lebih konkret lagi, hasil penelitian yang dipimpin Dr. Ichiro Kawachi itu juga menunjukkan pria yang skor marahnya 5 – 14 berisiko tiga kali lipat terkena penyakit jantung dibandingkan dengan pria dengan skor 0 atau 1. Pria yang marahnya meledak-ledak risikonya lebih tinggi lagi. Bagaimana dengan kaum hawa?

Menurut Prof. Sandra P. Thomas, dosen ilmu keperawatan dari Universitas Tennesse di Norkfils, AS, dan penulis buku Women and Anger, marah akan menjadi masalah bagi wanita bila sering muncul dengan intensitas tinggi, artinya marah banget, dan terlalu lama, meski tak dijelaskan secara persis seberapa lamakah yang disebutnya "terlalu lama" itu. Namun, mengekspresikan marah dengan meluap-luap, meledak-ledak, atau memendam saja hasilnya sami mawon bagi kesehatan, sama-sama tidak baiknya.

Mengelola dengan cara sehat

Kalau pandangan mata kita alihkan ke sosok yang disebut marah tadi, sebenarnya marah banyak macamnya. Mark Gorkin, seorang konsultan pencegahan stres dan kekerasan untuk US Postal Service, layanan pos di AS, dalam situs stressdoc.com membagi marah dalam empat macam. Ada marah dengan maksud tertentu (purposeful), spontan, konstruktif, dan destruktif.

Dikatakan purposeful ketika ekspresi marahnya disengaja, dengan kadar pertimbangan atau perhitungan yang cukup; juga dengan kadar pengendalian diri yang berarti. Dikatakan spontan, ketika ekspresi marah dilakukan secara tiba-tiba dengan sedikit pemikiran atau perencanaan; dengan kadar pengendalian diri yang sedikit moderat. Dikatakan konstruktif ketika ekspresi marah tegas serta menyatakan integritas dan batas privasi seseorang tanpa secara objektif bermaksud untuk mengancam atau melanggar integritas dan batas pribadi orang lain. Dan dikatakan destruktif ketika ekspresi marah ditumpahkan tanpa rasa bersalah dan secara kokoh mempertahankan identitas dan batas privasi seseorang dengan maksud untuk mengancam atau melanggar integritas dan batas pribadi orang lain.

Namun, problem sebenarnya bukan pada amarahnya. Sebab bukankah itu manusiawi? Masalahnya, terletak pada kesalahkelolaan marah itu sendiri. Karena itu, kita perlu mengelola marah itu secara sehat dan hati-hati.

Dalam situs angermgmt.com disebutkan ada empat langkah nyata untuk mengelola amarah. Pertama, mengidentifikasi kesalahan sikap dan pendirian yang mempengaruhi kita untuk marah secara berkelebihan. Begitu kesalahan ini diperbaiki, kita bakal lebih mudah mengendalikan marah.

Langkah kedua adalah mengidentifikasi faktor-faktor dari masa kecil kita yang menghambat kemampuan kita mengekspresikan amarah. Faktor-faktor ini termasuk ketakutan, penolakan, ketidaktahuan, dan seterusnya.

Langkah ketiga adalah mempelajari cara tepat untuk mengekspresikan kemarahan sehingga kita tetap dapat menguasai situasi yang menimbulkan kemarahan itu, bahkan secara lebih efektif. Rasa cemas dan depresi, sering kali merupakan dampak dari kemarahan yang ditekan. Masalahnya adalah kalau kita menekan kemarahan itu begitu dalamnya sampai-sampai kita sendiri tidak tahu! Lalu yang kita rasakan hanya "sampah"-nya, yaitu kecemasan atau depresi. Lebih repot lagi, ketika kita mengalami depresi, kita juga sangat sering marah pada diri kita sendiri tanpa menyadarinya.

Langkah keempat, menutup luka-luka yang mungkin tertinggal oleh pengaruh emosional dari kemarahan yang menghancurkan. "Luka amarah" yang tinggal dalam diri kita itu adalah terhadap mereka yang telah berbuat salah terhadap kita. Jika kita tidak menuntaskan langkah terakhir ini, rasa kesal dan jengkel karena merasa telah diperlakukan tidak adil akan melekat terus. Sampah amarah dan kemarahan kita itu pun bakal terbawa terus, sampai akhirnya membusuk dalam hati kita selamanya.

Selain keempat langkah tersebut, Charlotte Sanborn, Ph.D., dari Dartmouth College, juga menyodorkan empat langkah pendekatan dalam menangani amarah, seperti dikutip dari situs fsap.harvard.edu/managinganger.html. Keempat pendekatan tersebut adalah

1. Terimalah. Bila di masa mendatang kita merasa marah, terima saja. Jangan mengingkari perasaan marah atau mencoba untuk menutupinya.

2. Galilah. Dapatkan sumber emosinya. Jika sumbernya adalah sesuatu yang dikatakan orang kepada kita, tanya pada diri kita sendiri mengapa kata-kata itu membuat kita marah. Jika sumbernya sesuatu yang dilakukan atau tidak dilakukan orang, cari alasan mengapa kita sampai marah?

3. Ekspresikan. Jika kita yakin pengekspresian kemarahan kita itu bakal meledak-ledak sehingga mungkin menimbulkan rasa permusuhan, pertama-tama tenangkan diri dulu. Ambil napas dalam-dalam, tahan selama sepuluh detik, dan keluarkan. Atau, berjalan-jalanlah sejenak. Ketika kita merasakan bahwa kita sudah dapat mendiskusikan masalah yang mengganjal tanpa meledakkannya, lakukan.

4. Lupakan. Langkah terakhir ini mungkin paling susah. Namun juga paling penting. Begitu kita sudah menyampaikan perasaan kita kepada orang yang membuat kita marah, lupakan masalah itu. Berubah atau tidak sikap dia, tak jadi soal. Yang penting kita telah mengekspresikan kemarahan secara sehat.

Menggunakan empat langkah di atas dapat membantu kita untuk mengelola amarah dengan lebih baik. Namun, penelitian juga menemukan empat cara lain, untuk merespons perasaan marah, meskipun masing-masing memiliki kekurangan. Cara-cara tersebut adalah jangan melakukan:

1. Pengelakan (evasion), yakni mengingkari bahwa kita marah - atau tidak dapat untuk mengenali bahwa kita marah. Mengingkari marah cuma menambah stres dan mungkin menggiring kita ke arah penyakit yang berhubungan dengan stres tersebut, seperti sakit kepala dan depresi.

2. Pemendaman (containment), yakni memendam marah meskipun kita tahu bahwa kita sedang marah. Ini bukan mengurung amarah, cuma menunda ekspresinya. Akhirnya, marah mengarah kepada stres atau penyakit yang berhubungan dengan stres atau ledakan amarah.

3. Pengalihan (displacement), terjadi ketika kita menumpahkan kemarahan pada sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan sasaran amarah kita. Misalnya, istri memberikan tongkat golf suaminya kepada orang lain lantaran kesal pada ucapan sang suami. Atau, seorang bawahan yang ogah-ogahan bekerja karena fasilitas kerja yang tidak sesuai dengan tuntutannya.

4. Pengekspresian tak langsung (indirect expression), terjadi jika kita marah karena alasan tertentu, tapi menumpahkan kemarahan kita pada sesuatu yang lain. Sebagai contoh, kita mungkin marah pada anak kita karena perilaku belajarnya yang kurang baik, tapi daripada mengalamatkan sumber kemarahan kita pada kemampuan belajarnya, kita memarahi dia karena ia berlama-lama menggunakan telepon.

Jadi, marah sebenarnya masih bisa dikelola agar tak berdampak buruk. Semuanya tergantung pada diri kita sendiri, mau atau tidak mengelola kemarahan dengan cara sehat. (Wildan/Gde)

LANGKAH JITU MENGELOLA AMARAH

  • Jangan mengingkari perasaan marah.
  • Cari hal-hal yang menyebabkan kita marah.
  • Ekspresikan amarah kita dengan cara yang tidak meledak-ledak, tapi juga jangan memendamnya.
  • Jangan mengalihkan amarah pada sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan penyebab marah.
  • Jangan mengekspresikan amarah pada sesuatu yang lain.
  • Lupakan, begitu telah mengekspresikannya.

Komentar
0 Komentar

0 komentar:

Post a Comment

.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More