Tuesday 25 January 2011

pemímpin

PEMIMPIN YANG
JUJUR Seusai pelantikannya
sebagai Khalifah, Umar
bin Abdul Aziz
berbicara empat mata
dengan istrinya,
Fatimah, "Istriku, kini aku telah diberi amanah
untuk memimpin umat.
Aku sangat takut
durhaka kepada Allah
akibat menyalah-
gunakan harta negara yang dimanahkan
kepadaku, atau lalai
dalam
kepemimpinanku.
Tugas kekhalifahan ini
sangat berat dan amat membebaniku. Untuk
itu, aku
mempersilahkan kamu
memilih: apakah tetap
menjadi istri Khalifah
yang pekerjaannya sangat berat, sehingga
perhatiannya kepada
anak isteri berkurang,
namun penghasilannya
justru akan dikurangi
dan pas-pasan; atau kamu memilih masa
depanmu sendiri
dengan segala
konsekuensinya ?" Fatimah yang berlatar
belakang keluarga
kaya raya ternyata
tetap memilih
mendampingi suami
dengan segala beban- beban dan
kesederhanaannya. Ternyata apa yang
dikatakan suaminya
benar. Sejak suaminya
menjadi Khalifah, ia
dan keluarganya justru
kerap kelaparan. Apabila perutnya
keroncongan karena
lapar, dan
persendiannya gemetar
karena kedinginan,
Fatimah hanya berucap, "Ah, seandainya saja
suamiku tidak menjadi
Khalifah... Demi Allah,
kami belum pernah
merasakan
kebahagiaan sejak jabatan Khalifah
dibebankan kepada
kami..." Suatu hari, ketika
Khalifah Umar bin
Abdul Aziz pulang dari
inspeksi ke rumah-
rumah rakyatnya, dia
merasa aneh karena puteri kesayangannya
yang biasa
menyambutnya
dengan peluk dan
ciuman sayang, kali ini
menghindar, menjauhi sang ayah sambil
menutup mulutnya
dengan jilbabnya.
Melihat hal itu, Umar
bertanya kepada
istrinya dengan nada curiga, "Istriku, mengapa dia menutup
mulutnya, apa ada
sesuatu yang
diharamkan Allah yang
telah dimakannya. ???" Mendengar pernyataan
suaminya yang
bernada gelisah, istri
Khalifah menjawab,
"Tenang suamiku, puterimu tidak
memakan sesuatu
yang subhat, apalagi
haram. Ia baru saja
memakan bawang
untuk mengganjal perutnya yang lapar,
karena di rumah tidak
ada sesuatupun untuk
dimakan..." Mendengar jawaban
istrinya, Umar bin
Abdul Aziz menangis,
air matanya mengalir
membasahi pipinya.
"Sabar ya, istri dan anak-anakku..." Suatu hari, sahabat
Umar, Muhammad bin
Ka 'ab Al-Qurthy, datang bersilaturahim
ke rumahnya.
Muhammad kaget dan
sedih melihat kondisi
sang Khalifah,
penguasa Islam yang sukses
mensejahterakan
rakyatnya, sehingga
negerinya sangat
makmur dan berlimpah
kekayaannya. Wilayah kekuasaannya meliputi
seluruh negeri-negeri
teluk dan sekitarnya,
termasuk Iran dan
negeri-negeri di Afrika
Utara. Betapa tidak, Umar yang sebelum
menjabat Khalifah
tubuhnya besar tegap
berkulit putih bersih,
setelah menjadi
Khalifah justru menjadi kurus dan kulitnya
menjadi kusam.
Muhammad
memandangnya
dengan tak berkedip. Khalifah pun lantas
bertanya, "Muhammad, mengapa engkau
memandangku dengan
tatapan seperti itu?" "Aku heran, wahai Amirul Mukminin, " jawab Muhammad.
"Kenapa engkau heran?", tanya Umar lagi.
"Karena tubuhmu kurus, kulitmu kusam,
rambutmu panjang dan
tak rapi. Dimana
tubuhmu yang dulu
gempal, kulitmu yang
dulu halus, dan rambutmu yang dulu
berkilau..?", tanya Muhammad. Mendengar pertanyaan
sahabatnya ini,
Khalifah tersenyum
dan menjawab,
"Sahabatku, engkau akan lebih heran lagi
melihat keadaanku
nanti, yakni setelah tiga
hari kematianku,
dimana kedua mataku
menyusut ke dalam pipi, sementara
belatung dan cacing
menempati hidung dan
mulutku..." Suatu malam, ketika
Umar tengah menekuni
tumpukan dokumen
negara yang harus dia
baca dan buat
rekomendasinya, seorang saudaranya
datang. Setelah
mempersilahkan duduk,
Umar bertanya, "Ada keperluan apa, wahai
saudaraku? Apakah
menyangkut urusan
pribadi atau
kepentingan negara?". "Aku datang untuk keperluan pribadi" jawab saudaranya.
Tiba-tiba Umar
mematikan lampu di
meja kerjanya, yang
hanya satu-satunya itu.
Ruangan pun menjadi gelap gulita.
Saudaranya kaget dan
bingung, lantas
bertanya, "mengapa engkau matikan
lampunya ??" Umar terdiam,
kemudian bicara
perlahan, "Saudaraku, bukankah engkau
datang untuk keperluan
pribadi, tak ada
kaitannya dengan
urusan negara? Oleh
karena itu aku mematikan lampu, agar
kita tidak
menyalahgunakan
harta kekayaan
negara..." Itulah jawaban mulia
dari seorang Khalifah
berjiwa mulia. Di lain waktu, Khalifah
Umar mengadakan
rapat dengan para
pejabat negara. Dalam
acara itu, para tamu
dihidangkan buah- buahan. Puteri Umar
yang masih kecil tergiur
melihat buah apel
merah yang
dihidangkan. Dia
merengek kepada ibunya agar diambilkan
satu saja. Si ibu tak
mau, anaknya pun
menangis. Si ibu
mencoba
membujuknya dengan halus, tetapi si anak
malah tambah
menangis. Terpaksalah
si ibu, istri Khalifah,
dengan berat hati
mengambilkannya satu buah apel untuk
menghentikan tangis
anaknya.
Melihat itu, Khalifah
Umar menahan tangan
istrinya, sembari berbisik, " Istriku... apakah kamu mau
mengambil harta
negara untuk
kepentingan keluarga
kita? Demi Allah,
janganlah kamu memberi api neraka ini
kepada anak kita..." Pada hari berikutnya,
Umar kedatangan
seorang ibu tua. Dia
suguhi wanita itu
dengan serenteng
anggur. Setiap memakan sebuah,
wanita itu mengucap,
"Alhamdulillah ", hingga anggur itu habis. Umar
gembira melihatnya.
"Ada gerangan apa ibu datang ke sini?", tanya Umar.
"Saya punya lima anak, dan tidak ada
satu pun yang
mempunyai pekerjaan.
Bantulah kami, wahai
Amirul Mukminin... " Umar tersentak,
kemudian terdiam.
Tampak air mata
meleleh di pipinya. Ia
merasa bersalah,
karena sebagai kepala negara sampai tidak
tahu ada rakyatnya
yang masih
menganggur tidak
mendapat pekerjaan. "Coba sebutkan nama anak ibu yang
pertama," tanya Umar kepada ibu tadi.
Disebutlah oleh ibu itu
nama anak
pertamanya. Umar
menuliskannya dalam
selembar kertas disertai jumlah bantuan modal
kerja yang akan
diberikan. Keputusan
itu disambut dengan
ucapan "alhamdulillah"
oleh wanita itu. Disebutkannya pula
anak nomor dua,
nomor tiga, dan nomor
empat. Oleh Umar
masing-masing anak
ditetapkan jumlah bantuannya, dan selalu
dijawab "alhamdulillah" oleh ibu tersebut.
Ketika Umar
menuliskan untuk anak
yang nomor lima,
saking girangnya, ibu
itu buru-buru membungkuk-bungkuk
seraya berkata,
"Terima kasih tuan, terima kasih tuan." Mendadak Umar
menyobek kertas yang
kelima itu. Ibu itu
tersentak kaget. "Ada apa tuanku?" tanya wanita itu keheranan.
Umar menjawab, "Dari anak pertama sampai
anak keempat, ibu
selalu mengucap
"alhamdulillah", suatu
pernyataan syukur
kepada Dzat yang berhak menerimanya.
Karena Dia-lah pada
dasarnya yang
mempunyai kuasa
memberi dan
mengambil. Tetapi giliran anak kelima, ibu
malah berterima kasih
kepada saya. Apa
sebabnya ?" "Karena tuan amat dermawan dan berhati
mulia," jawab wanita itu.
"Maaf, ucapan itu tidak layak ibu tujukan
kepada saya. Apalah
saya ini sampai ibu
memuji-muji saya?
Bukankah segala puji
itu milik Allah? Saya ini tidak ada bedanya
dengan ibu. Bahkan di
hadapan Allah mungkin
saya ini lebih hina;
karena hisab ibu ringan
sementara hisab saya berat sekali. Untuk itu,
saya hanya
berkewajiban memberi
bantuan kepada empat
orang anak ibu saja,
sebab hanya untuk mereka berempat ibu
berterima kasih kepada
Dzat yang memang
layak dipuji. Tetapi,
hendaknya bantuan
saya ini dibagikan secara adil untuk modal
seluruh keluarga." Umar bin Abdul Aziz
telah
mempersembahkan
jiwa dan raganya demi
kepentingan rakyatnya.
Dia bekerja keras dari pagi hingga petang.
Sore hari dia mengurusi
kebutuhan keluarganya
sebentar, lantas
melanjutkan bekerja
mengurusi rakyat hingga malam hari. Di
malam hari dia tidur
sebentar, merebahkan
diri berbantalkan
tangan sembari
membaca zikir, air matanya pun
membasahi kedua
pipinya.
Tengah malam dia
bangun untuk qiyamul-
lail, berdzikir, berdoa untuk rakyatnya,
diselingi tangis
pengaduan kepada
Rabb-nya, begitulah
hingga shalat tubuh
tiba. Lalu siang harinya, dia berpuasa. Pernah suatu kali,
Fatimah istrinya,
bertanya, "Suamiku, mengapa setiap malam
engkau menangis?" Umar menjawab,
"Istriku, disetiap tidurku aku selalu
bermuhasabah. Aku
merasakan betapa
berat beban amanah
yang harus kupikul.
Aku membayangkan ada rakyatku yang fakir
dan papa, ada anak-
anak yatim yang tak
terurus, ada perantau
yang terdampar dan
tersesat, ada tawanan yang nestapa, dan ada
orang-orang menderita
lainnya di seluruh
penjuru negeri ini,
lantas aku menyadari
bahwa Allah akan meminta tanggung
jawabku atas mereka
ini semua. Ini yang
membuatku takut tak
mampu
mempertanggung jawabkan di hadapan-
Nya. Aku gemetar
setiap mengingat ini
semua. Aku tambah
takut kepada Allah.
Aku menangis tersedu- sedu setiap malam...
Istriku, aku mohon
engkau memaklumi
aku..." Umar bin Abdul Aziz,
seorang Kepala
Negara yang sukses
mensejahterakan
seluruh rakyatnya dan
memakmurkan negerinya, menghadap
Sang Khalik dengan
meninggalkan sebelas
anak, masing-masing
anak mendapatkan
warisan hanya tiga perempat dinar. Menjelang wafatnya,
sang Khalifah berpesan
kepada anak-anaknya:
"Maafkan ayah, anak- anakku. Ayah tidak
memiliki harta yang
dapat diwariskan untuk
kalian...
Apabila kalian
bersabar, insya Allah, surga Allah telah
menanti kalian..." *******

Komentar
0 Komentar

0 komentar:

Post a Comment

.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More