Wednesday 9 February 2011

Krisis Mesir

Berikut ini adalah
terjemahan transkrip
ceramah asy-Syaikh
al-Muhaddits 'Ali H asan al-Halabî yang berkaitan dengan krisis
yang terjadi di Mesir
baru-baru ini (termasuk
juga di Tunisia). Karena
banyaknya faidah dan
manfaat di dalamnya, maka saya turunkan
terjemahannya dalam
dua seri –insyâ Alloh-. Syaikh 'Alî al-H alabî hafizhahullâhu berkata
: Assalâmu 'alaikum Warohmatullâhu Wabarokâtuh Dengan nama Alloh
yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya segala
puji hanyalah milik
Alloh. Kami menyanjung-Nya,
memohon pertolongan
dan ampunan-Nya,
serta kami memohon
perlindungan dari
keburukan jiwa dan kejelekan amal kami.
Barangsiapa yang
Alloh beri petunjuk tidak
ada yang mampu
menyesatkannya, dan
barangsiapa yang dileluasakan dalam
kesesatan maka tiada
seorangpun yang
dapat memberikannya
hidayah. Saya bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak untuk disembah
kecuali hanya Alloh
semata dan tidak ada
sekutu bagi-Nya. Saya
juga bersaksi bahwa Muhammad itu adalah
hamba dan utusan-
Nya. Amma Ba 'd : Sesungguhnya
sebenar-benar
perkataan adalah
Kalâmullâh, dan
sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu
'alaihi wa Sallam. Sedangkan seburuk-
buruk suatu urusan
adalah yang diada-
adakan, dan setiap
urusan (di dalam
agama) yang diada- adakan itu adalah
bid'ah, dan tiap kebid'ahan itu adalah sesat, dan setiap
kesesatan itu berada di
neraka. Wa ba'd : Ada sebuah riwayat
dari sahabat yang
mulia 'Alî bin Abî Thâlib, yang berisi
tentang wasiat yang
agung yang
disampaikan beliau
kepada salah seorang
sahabatnya yang bernama Kumail bin
Ziyâd. Wasiat beliau
tersebut berbunyi : ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ ٌﺔﺛﻼَﺛ : ٌﻢﻟﺎَﻌَﻓ ٌﻲِﻧﺎَّﺑَﺭ ،
ٌﻊِﺒَّﺘُﻣَﻭ ﻰﻠَﻋ ِﻞْﻴِﺒَﺳ ٍﺓﺎَﺠَﻧ ، ٌﺞَﻤَﻫَﻭ ٌﻉﺎَﻋَﺭ ِﻉﺎَﺒْﺗﺃ ِّﻞُﻛ
ٍﻖِﻋﺎَﻧ "Manusia itu ada tiga macam : yaitu (1)
seorang 'âlim rabbânî, (2) seorang yang
meneladani di atas
jalan keselamatan, dan
(3) orang rendahan
yang membebek setiap
ocehan. Manusia tidak akan
keluar dari ketiga sifat
tersebut,
bagaimanapun dan
dimanapun
keadaannya. Yaitu, (1) sebagai seorang 'âlim robbânî, yang
dinisbatkan (nama ini)
kepada Rabb yang
Maha Agung Jalla
Jalâluh, yang mendidik
manusia di atas sifat ini. (2) atau sebagai
seorang yang
meneladani di atas
jalan keselamatan. Dia
bukanlah seorang
muqollid (pembebek), muta'ashshib (fanatik) maupun mutahazzib
(sektarian). Dia hanya
mengharapkan Alloh
dan negeri akhirat saja.
Dia menginginkan Alloh
dan negeri akhirat
karena kedua hal inilah jalan keselamatan itu.
Adapun selain daripada
ini adalah jalan yang
menuju kepada
kerugian yang nyata,
menurut tingkatan penyelisihannya yang
mengantarkan kepada
kerugian, sedikit
maupun banyak. (3) Dan golongan
ketiga yaitu orang
rendahan yang
mengikuti semua
ocehan. Mereka tidak
memiliki kaidah ilmiah maupun landasan yang
syar 'i, dan tidak pula metoda dan asas yang
diperhatikan di dalam
kerangka syariat islam.
Mereka ini turut
berteriak bersama
setiap penyeru dan mengembara di setiap
lembah. Mereka ini
adalah orang rendahan,
yang tidak digerakkan
oleh ilmu dan tidak pula
dimotivasi oleh syariat. Mereka hanya
membebek setiap
ocehan, berdasarkan
mana yang ocehan dan
teriakannya paling
keras, dan berdasarkan mana yang paling
banyak jumlah dan
kuantitasnya. Setiap orang yang
berakal dan memiliki
hati nurani, pasti akan
menolak jika
dikategorikan sebagai
golongan ketiga ini. Walaupun terkadang, di
saat emosi lebih
dominan dan luapan
semangat revolusi
sedang menggebu-
gebu, acap kali mereka ini (secara tidak sadar)
termasuk golongan
ketiga ini, atau berada
di antara (barisan)
mereka atau bahkan
berada di (barisan) yang terdepan dari
mereka. Karena itu
hendaknya mereka
mengevaluasi diri
mereka, dan
memperhatikan tempat berpijak kedua kakinya,
serta memperhatikan
perubahan hatinya dan
pergerakan lisannya.
Agar tidak ada lagi
pada dirinya dosa dan penyelewengan,
berupa sikap ikut-ikutan
belaka, fanatisme,
kebodohan dan
semangat yang
meluap-luap. Demikianlah dia
menolak untuk
digolongkan kepada
golongan ketiga ini,
maka sesungguhnya
hal ini lantaran Alloh menganugerahkan akal
kepadanya, sehingga
ia juga tahu bahwa
dirinya tidak termasuk
golongan pertama.
Golongan pertama ini adalah para ulama
robbâniyîn, yang umat
ini wajib mencontoh
mereka, bukan sebagai
bentuk fanatik kepada
mereka namun sebagai bentuk peneladan.
Bukan pula sebagai
bentuk sikap
sektarianisme
(tahazzub) namun sebagai bentuk sikap
yang tsabat (mantap)
dan istiqômah
(konsisten) di atas
syariat Alloh, yaitu di
atas Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullâh
Shallallâhu 'alaihi wa Sallam. Mereka ini bukanlah
termasuk golongan
pertama bukan pula
ketiga. Namun mereka
berupaya
mengerahkan kesungguhan dan
kemampuannya agar
bisa menjadi golongan
yang pertengahan
diantara dua golongan
tadi. Mereka bukanlah seorang yang ahli dan
pantas untuk
menyandang sebutan
'âlim robbânî, dan dirinya juga enggan
dan tidak suka jika
dianggap seperti
golongan orang
rendahan, yang
sungguh amat disayangkan, betapa
banyak mereka ini di
seluruh penjuru dan
belahan dunia. Akan tetapi, jika ia ridha
untuk digolongkan
sebagai golongan
pertengahan, yang
mengikuti jalan
keselamatan, lantas apakah status
golongan pertengahan
ini dapat dicapai hanya
dengan sekedar angan-
angan? Atau dicapai
hanya dengan sekedar mimpi dan khayalan
belaka? (Tidak), dia
harus berupaya untuk
bisa menjadi golongan
pertengahan ini dengan
mengerahkan segala daya upaya dan
kesungguhan jiwa,
bersabar di dalam
menuntut ilmu dan
konsisten di atas
perintah Alloh, walaupun menyelinap
masuk ke dalam dirinya
rasa enggan terhadap
beberapa hal, hanya
saja ia tetap berjalan
dan meniti di atas sebagian jalan,
walaupun tidak di atas
petunjuk dari Alloh, dan
meskipun tidak berada
di atas keitiqomahan di
dalam menjaga perintah Alloh.
Hendaknya yang
seperti ini dapat
mendorong dan
menjaga jiwanya dari
hal tersebut. Hendaknya dia selalu
ingat perkataan
seorang penyair yang
mengingatkan dirinya
sendiri dan selainnya : ﺍﺬﻬﻓ ﻖﺤﻟﺍ ﺲﻴﻟ ﻪﺑ ﺀﺎﻔﺧ *** ﻲﻨﻋﺪﻓ ﻦﻣ ﺕﺎﻴﻨﺑ
ﻖﻳﺮﻄﻟﺍ Inilah kebenaran yang tidak ada padanya kesamaran Aku tidak
akan tertipu dengan banyaknya persimpangan jalan Semua ini adalah
termasuk
persimpangan jalan
yang berlika-liku dan
berkelak-kelok, yang
bengkok tidak lurus, yang terletak di atas
kedua sisi jalan dan
manhaj yang lurus,
yang Alloh dan Rasul-
Nya yang mulia – Shallallâhu 'alaihi wa 'ala Âlihi wa Shoh bihi
ajma'în- memerintahkan untuk
mengikutinya. Jalan ini
adalah jalan yang Alloh
dan Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wa Sallam perintahkan
kepada umatnya, para
pengikutnya, para
sahabatnya dan
saudara-saudaranya
yang hidup setelah beliau Shallallâhu 'alaihi wa Sallam, agar
mengikuti jalan
keselamatan ini. Sesungguhnya hal ini
membutuhkan
kesungguhan jiwa,
sebagaimana Alloh
Ta'âlâ berfirman : ﻦﻳﺬﻟﺍﻭ ﺍﻭﺪﻫﺎﺟ ﺎﻨﻴﻓ ﻢﻬﻨﻳﺪﻬﻨﻟ ﺎﻨﻠﺒﺳ "Dan orang-orang
yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) kami, maka
benar- benar akan kami
tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan
kami." (QS al-Ankabût : 69) Dan Nabi yang mulia
Shallallâhu 'alaihi wa 'ala Âlihi wa Shoh bihi ajma'în bersabda :
ﺪﻫﺎﺠﻤﻟﺍ ﻦﻣ ﺪﻫﺎﺟ ﻩﺍﻮﻫ ﻲﻓ ﺕﺍﺫ ﻪﻠﻟ "Seorang mujahid itu adalah orang yang
berjihad melawan hawa nafsunya di jalan Alloh. " Seorang mujahid yang
melawan hawa nafsu
itu, wahai saudara-
saudaraku, bukanlah
dikatakan orang yang
terus menerus melawan syahwatnya.
Karena terkadang pada
beberapa keadaan, dia
harus berjihad melawan
syubuhat. Dan jihad
melawan syubuhat ini, adalah lebih utama dan
lebih besar tingkatan
dan derajatnya
daripada jihad melawan
syahwat. Lebih mudah
bagimu berjihad melawan syahwatmu
jika Alloh
memberikanmu taufiq,
namun tidaklah mudah
berjihad melawan
syubuhat yang datang menghampiri atau
menyusup lalu
menyesatkanmu, dan
menjauhkanmu dari al-
haq dan kebenaran. Ini
adalah poin mendasar. Saya tidak akan
berbicara panjang lebar
tentang hal ini dan
hanya sekedar sebagai
pengingat saja di
malam hari yang penuh berkah ini –insyâ` Alloh-. Penuh berkah
karena udaranya begitu
harum dengan
Kalâmullâh, dan penuh
berkah lantaran di
dalamnya sarat dengan petunjuk Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wa Sallam dan nafas para
ulama Rabbâniyîn
serta fatwa-fatwa
mereka yang benar lagi
dapat dipercaya. Saya berkata :
Kesemua hal yang ada
di hadapan kita ini
adalah sebuah
peringatan bagi
keadaan yang sebenarnya, kita sering
mendengarkannya dan
diperdengarkan kepada
kita, kita hidup
dengannya dan
merisaukan kita. Bukan hanya merisaukan kita
di dalam urusan dunia
saja, namun juga
merisaukan,
mencemaskan dan
menggelisahkan di dalam urusan agama
kita, sama persis.
Bahkan, untuk sampai
menghukumi insiden
dan kejadian yang
terjadi dengan hukum yang benar dan diakui,
wajib untuk
membangun hukum ini
di atas pondasi yang
tepat dan diatas
pendalilan yang bagus. Yaitu dengan ucapan
Alloh dan Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wa Sallam, sebagaimana
dikatakan oleh Imam
adz-Dzahabî –semoga Alloh merahmatinya- : ﻢﻠﻌﻟﺍ ﻝﺎـﻗ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﺎـﻗ ﻪـﻟﻮﺳﺭ
*** ﻝﺎﻗ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟﺍ ﺲﻴﻟ ﻪﻳﻮﻤﺘﻟﺎﺑ ﺎﻣ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﻚﺒﺼﻧ ﻑﻼﺨﻠﻟ ﺔﻫﺎﻔﺳ *** ﻦﻴﺑ ﻝﻮﺳﺮﻟﺍ
ﻦﻴﺑﻭ ﻱﺃﺭ ﻪﻴﻘﻓ Ilmu itu adalah firman Alloh dan sabda Rasul- NYa Serta
perkataan sahabat, bukan sekedar kamuflase Bukanlah ilmu bagimu, orang
bodoh yang mempertentangkan Antara (ucapan) Rasul dengan pendapat
seorang ahli fikih Mari kita perhatikan
peristiwa yang terjadi di
Mesir, sebagaimana
kita perhatikan pula
yang terjadi baru-baru
ini di Tunisia. Kita coba cermati juga peristiwa
yang terjadi saat ini di
Libanon, bahkan juga
yang terjadi di Amman
dan yang terjadi belum
lama ini di Shan'a` (Yaman). Peristiwa
demi peristiwa yang
selalu up to date yang
hampir saja umat kita
ini tidak
melewatkannya dan tidak mengetahuinya.
Akan tetapi, sampai
saat ini, kita selalu
kehilangan kebebasan
bersuara secara syar 'i, untuk menghukumi
suatu peristiwa dengan
dalil-dalilnya, tidak
berdasarkan orang
yang
mengucapkannya, dan dengan hujjah-
hujjahnya, tidak dengan
implikasi yang berasal
dari kejadian suatu
peristiwa sebagai suatu
hukum syar 'i yang lebih dekat dengan
kebenaran tanpa ada
keraguan lagi. Betapa sering kita
mendengarkan
terminologi Fiqhul
Wâqi', yang dua kubu saling bergumul tentang
terminologi ini. Kubu
pertama adalah kubu
para penyeru revolusi
dan politisi yang
sentimentil dan terlalu bersemangat. Mereka
menjadikan fiqhul wâqi ' ini sebagai alasan
untuk mengikuti berita-
berita politik dan
menelaah metoda-
metoda jurnalis, di
antara semua kejadian untuk membakar
semangat revolusi dan
membebaskan luapan
perasaan yang tak
terkendali. Adapun kubu kedua
adalah kubu para
ulama robbâniyûn,
yang memahami fiqhul
wâqi ' di atas landasan syar 'i. Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah
pernah menyebutkan
tidak hanya di dalam
satu buku pada karya
tulisnya. (Yaitu) yang
pertama dari fiqhul wâqi ' itu adalah, tidak terbatas hanya pada
masalah politik dan
derivasinya saja.
Namun sesungguhnya
fiqhul wâqi ' itu adalah metoda untuk
menggambarkan
keadaan segala
peristiwa, sehingga
implikasinya adalah
suatu kebenaran dan keadilan. Sama saja,
baik peristiwa tersebut
adalah perkara politik
atau syar 'iyah, ataupun bahkan perkara materi
duniawiyah. Beginilah kita
memahami pengertian
fiqhul wâqi ' secara syar 'i, yaitu sebagaimana yang
disebutkan oleh para
ulama di dalam buku-
buku terminologi
(ishtilâh) yang mengandung pendapat,
landasan dan
terminologi mereka,
yaitu : ﻢﻜﺤﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺀﻲﺸﻟﺍ ﻉﺮﻓ ﻦﻋ ﻩﺭﻮﺼﺗ "Menghukumi sesuatu hal itu
adalah cabang dari gambaran realita keadaannya " Lalu kita dekatkan
dua
ungkapan (dari dua
kubu) tersebut, dan kita
ikuti makna yang benar
di antara dua kalimat
dan dua terminologi tersebut. Maka kami katakan :
Fiqhul wâqi ' yaitu peristiwa yang
menjadikanmu berada
di atas batasan sikap
yang benar. Apabila
engkau tidak
memahami wâqi ' (realita) ini dengan pemahaman
yang benar, maka akan
menyebabkanmu jauh
dari kebenaran tersebut
sebatas kurangnya
pengetahuan dan pemahamanmu
terhadapnya. Beginilah
pengertian yang benar.
Bukanlah makna fiqhul
wâqi ' itu dipenuhi dengan luapan
semangat dan tindakan
revolusi, dan
disempitkan maknanya
hanya pada batasan
politik dan pelakunya (politisi) saja. Bukan
demikian keadaannya! Saya katakan, inilah
pendahuluan lain dariku
yang berisi ayat,
hadits, atsar, kaidah
fikih dan fatwa para
ulama yang akan kusampaikan di majlis
kita di malam yang
penuh berkah ini –insyâ Alloh-, sebagai bagian
dari firman Alloh : ﻪﻨﻨﻴﺒﺘﻟ ﺱﺎﻨﻠﻟ ﻻﻭ ﻪﻧﻮﻤﺘﻜﺗ "Hendaklah kamu menerangkannya
kepada manusia, dan
jangan kamu
menyembunyikannya " (QS Âli 'Imrân : 187) Silakan bagi yang ridha
meridhainya, bagi yang
marah silakan marah,
yang mau menuduh
silakan menuduh, yang
ingin mencela silakan mencela dan yang ingin
menghujat silakan
menghujat. Karena
sesungguhnya
hubungan seorang
hamba terhadap Rabb- nya adalah hubungan
yang tinggi.
Hendaknya kejujuran di
dalamnya menjadi syiar
dan penolongnya tanpa
melihat orang yang menyelisihi atau
menyetujuinya.
Kiblatnya adalah
mengharapkan wajah
Alloh, dan cahaya
hatinya adalah sunnah Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wa 'ala Âlihi wa Shohbihi wa man wâlahu. Adapun dasar ayat al-
Qur`ân adalah firman
Alloh Tabâroka wa
Ta'âlâ : ﺍﺫﺇﻭ ﻢﻫﺀﺎﺟ ﺮﻣﺃ ﻦﻣ ﻦﻣﻷﺍ ﻭﺃ ﻑﻮﺨﻟﺍ ﺍﻮﻋﺍﺫﺃ ﻪﺑ ﻮﻟﻭ ﻩﻭﺩﺭ ﻰﻟﺇ ﻝﻮﺳﺮﻟﺍ
ﻰﻟﺇﻭ ﻲﻟﻭﺃ ﺮﻣﻷﺍ ﻢﻬﻨﻣ ﻪﻤﻠﻌﻟ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻪﻧﻮﻄﺒﻨﺘﺴﻳ ﻢﻬﻨﻣ "Dan apabila datang
kepada mereka suatu
berita tentang
keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan
kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil
Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
dari mereka (rasul dan
ulil Amri). " (QS an- Nisâ` : 83) Seluruh ucapan para
ulama tafsir tentang
ayat ini berkaitan
dengan dua poin, yaitu
poin pertama bahwa
urusan yang berkaitan dengan hajat orang
banyak adalah
termasuk problematika
yang tidak boleh
menyebarluaskan dan
menyiarkannya kecuali dengan poin kedua,
yaitu bahwa urusan ini
adalah termasuk
wewenang orang-
orang khusus dari
kalangan ahli ilmu dan ahli istinbâth (yang
pandai menggali suatu
hukum syar 'i). Sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam
ath-Thohâwî, Imam Ibnu Taimiyah, Imam
ath-Thobarî dan selain
mereka dari kalangan
para ulama bahwa : ﺭﻮﻣﻷﺍ ﺔﻣﺎﻌﻟﺍ ﻲﻓ ﺔﻣﻷﺍ ﻻ ﻲﺘﻔﻳ ﺎﻬﻴﻓ ﻻﻭ ﻲﻄﻌﻳ ﻢﻜﺤﻟﺍ
ﺎﻬﻧﺄﺸﺑ ﻻﺇ ﻞﻫﺃ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﻥﻮﻴﻧﺎﺑﺮﻟﺍ ، ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺍﻮﻠﻌﺟ ﻢﻬﺘﻠﺒﻗ ﺏﺎﺘﻛ ﻪﻠﻟﺍ ، ﺔﺠﻬﻣﻭ
ﻢﻬﺑﻮﻠﻗ ﺔﻨﺳ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ - "Urusan yang berkaitan
dengan hajat orang
banyak di tengah umat
ini, tidak boleh
seorangpun berfatwa
dan memberikan
hukum tentangnya kecuali ulama
robbâniyûn yang
menjadikan kitâbullah
sebagai kiblat mereka
dan sunnah Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wa Sallam sebagai cahaya
hati mereka." Mereka hanya
menginginkan kebaikan
bagi umat ini, bukannya
menginginkan suatu
balasan dari mereka.
Mereka menginginkan kebaikan,
keistiqomahan,
kebahagiaan dan
keberhasilan bagi umat
ini, bukan
menginginkan suatu bagian dari dunia,
sedikit maupun banyak.
Ini adalah landasan
pertama dan nash
(dalil) yang kita
kemukakan pertama kali penjelasannya. Adapun dasar kedua
adalah hadits yang
diriwayatkan di dalam
Shahîh Muslim dari Abu Hurairoh –semoga Alloh Ta 'âlâ meridhai beliau-
yang berkata :
Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wa Sallam bersabda : ﺓﺩﺎﺒﻌﻟﺍ ﻲﻓ ﺝﺮﻬﻟﺍ ﺓﺮﺠﻬﻛ ّﻲﻟﺇ "Beribadah di
masa sulit adalah seperti hijrah kepadaku." Al-Haraj adalah (masa
yang penuh dengan)
pembunuhan,
pencampuradukan,
kegoncangan dan
fitnah. Manusia di saat seperti ini, hati mereka
menjadi tidak menentu,
akal fikiran mereka
menjadi bingung dan
jiwa mereka tidak
tentram. Ada diantara mereka yang pada
keadaan seperti ini
bergabung bersama
dengan orang-orang
rendahan yang
menyebar ke seluruh penjuru tempat, tanpa
dia sadari dan dia
fahami. Karena fitnah
ini menyebabkan
dirinya tidak sadar dan
terpukul hingga menyebabkan dirinya
jatuh ke tempat yang
rendah, dan dia tidak
mampu menoleh ke
tempat yang lebih tinggi
dan lebih penting. Hadits ini merupakan
arahan dari Muhammad
Shallallâhu 'alaihi wa Sallam, rasul Islam dan
penghulunya anak
keturunan Adam.
Sebagai suatu bentuk
pengajaran, peringatan
dan arahan ketika berada di suatu tempat
yang penuh dengan
fitnah, maka wajib
untuk menyibukkan diri
dengan amalan yang
paling utama dan paling penting, yaitu
beribadah kepada
Rabb Tabâroka wa
Ta'âlâ, satu-satunya sesembahan yang
benar subhânahu fî 'alâhu. Daripada menyibukkan diri
dengan peristiwa fitnah,
yang malah semakin
menyebabkan
seseorang semakin
jauh dari Alloh dan memalingkan dirinya
kepada suatu hal yang
diutamakan padahal
masih ada hal yang
memiliki keutamaan. Memalingkan dirinya
kepada suatu hal yang
diutamakan adalah
suatu perkara yang
lebih sulit, sedangkan
meninggalkan hal yang lebih memiliki
keutamaan adalah lebih
mudah. Memalingkan
dirinya kepada suatu
hal yang diutamakan
adalah jauh dari syariat Islam, dan
menjauhkannya dari
sesuatu yang memiliki
keutamaan, maka hal
ini adalah perkara yang
diperintahkan oleh syariat. "Beribadah di masa sulit adalah seperti
hijrah kepadaku", yaitu tatkala setiap orang
pada sibuk masing-
masing dan melakukan
perbuatan yang
dikehendakinya,
berkumpul sekehendak mereka dan
mengobarkan revolusi
semau mereka.
Janganlah sampai
perbuatan mereka ini
mengalihkan perhatianmu dari
agamamu, dari manhaj
kitab suci tuhanmu dan
dari sunnah nabimu
Shallallâhu 'alaihi wa Sallam. Inilah nash al-Qur`ân
dan hadits nabi, jangan
sampai menjadikan kita
mempersamakan
antara kezhaliman
dengan keadilan, atau antara kebenaran dan
kebathilan. Namun
hendaknya menjadikan
kita mengikat cara pola
pikir kita, dan cara kita
memperbaiki kondisi ini. Bukannya malah
menyebarkan hasutan
yang malah semakin
berimplikasi
mendatangkan
bencana dan malapetaka, dan
musibah demi musibah. Syariat yang bijaksana
ini mengikat akal, hati,
lisan dan amal
perbuatan kita.
Mengikat hal ini
seluruhnya dengan hal yang lebih sesuai dan
lebih layak secara
sempurna dengan
tabiat dasar manusia
yang telah Alloh
ciptakan. Dia- berfirman : ﻻﺃ ﻢﻠﻌﻳ ﻦﻣ ﻖﻠﺧ ﻮﻫﻭ ﻒﻴﻄﻠﻟﺍ ﺮﻴﺒﺨﻟﺍ "Apakah
Allah yang menciptakan itu tidak
mengetahui (yang
kamu lahirkan atau
rahasiakan); dan dia
adalah Maha halus lagi
Maha Mengetahui?" (QS al- Mulk : 14) Yang Maha Halus dan
Mengetahui apa yang
terbaik bagi mereka.
Baik itu jauhnya
seorang manusia dari
manhaj robbânî yang benar, atau jatuhnya
seseorang kepada
kehinaan, atau
rancunya seseorang
dengan kezhaliman dan
kedustaan, semoga Alloh melindungi kita
dan kalian. Syariat yang bijaksana
ini, mengikat dua aspek
yang dikira oleh
sebagian orang bahwa
kedua hal ini saling
kontradiksi, padahal hakikatnya saling
bersesuaian dan
berpadu. Aspek
pertama adalah,
larangan syariat secara
keras dari sikap memberontak (keluaran
dari ketaatan) terhadap
penguasa muslim.
Ingat, yang kita
bicarakan adalah
penguasa muslim, kita tidak membicarakan
penguasa yang
memerangi hijâb, atau
memerangi adzân, atau
jenggot, ataupun
bahkan yang memerangi Islam.
Namun kita berbicara
tentang seorang
penguasa muslim,
walapun dirinya
menyelisihi sebagian perintah Alloh, atau ada
pada dirinya sifat
kefasikan dan
kemaksiatan, namun
hal ini tidaklah
menyebabkan dirinya keluar dari lingkaran
agama dengan
kesepakatan ahlus
sunnah. Ini adalah
aspek pertama. Aspek kedua, adalah
aspek yang dikira
kontradiksi dengan
aspek pertama. Yaitu
seorang penguasa
yang Anda berada di bawah kekuasaannya,
Anda tidak wajib untuk
mencintainya lantaran
sebab
penyelewengannya
terhadap syariat Alloh. Dan ketidakcintaan
Anda kepadanya
bukanlah termasuk
bentuk keluar dari
ketaatan kepadanya,
atau sebagai bentuk mengobarkan revolusi.
Namun hal ini, masuk
ke dalam konteks
sabda Nabi Shallallâhu
'alaihi wa Sallam : ﻦﻣ ﻯﺃﺭ ﻢﻜﻨﻣ ﺍﺮﻜﻨﻣ ﻩﺮﻴﻐﻴﻠﻓ ﻩﺪﻴﺑ ، ﻥﺈﻓ ﻢﻟ ﻊﻄﺘﺴﻳ
ﻪﻧﺎﺴﻠﺒﻓ ، ﻥﺈﻓ ﻢﻟ ﻊﻄﺘﺴﻳ ﻪﺒﻠﻘﺒﻓ ، ﻚﻟﺫ ﻒﻌﺿﺃ ﻥﺎﻤﻳﻹﺍ "Barangsiapa diantara
kalian yang melihat
kemungkaran, maka
hendaknya ia merubah
dengan tangannya.
Apabila tidak mampu,
maka hendaknya dengan lisannya. Dan
apabila masih tidak
mampu, maka dengan
hatinya, dan ini adalah
selemah-lemahnya
iman." Inilah aspek kedua
yang telah
kuisyaratkan, bahwa
aspek ini selaras
secara sempurna
dengan aspek pertama tadi sebagaimana
ditunjukkan oleh
Rasulullah 'alaihi ash- Sholâtu was Salâm
dalam sabdanya.
Dengarkanlah hadits
nabi ini yang mulia ini,
yang begitu
menakjubkan, begitu agungnya, begitu
indahnya dan begitu
mulianya. Nabi
Shallallâhu 'alaihi wa Sallam bersabda : ﺮﻴﺧ ﻢﻜﺋﺍﺮﻣﺃ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻢﻬﻧﻮﺒﺤﺗ ،
ﻢﻜﻧﻮﺒﺤﻳﻭ ، ﻥﻮﻋﺪﺗﻭ ﻢﻬﻟ ، ﻥﻮﻋﺪﻳﻭ ﻢﻜﻟ ، ﺮﺷﻭ ﻢﻜﺋﺍﺮﻣﺃ… "Sebaik-baik
penguasa kalian, adalah mereka
yang kalian cintai dan
mereka mencintai
kalian. Kalian
mendoakan kebaikan
kepada mereka dan mereka pun
mendoakan kebaikan
pada kalian.
Sedangkan seburuk-
buruk penguasa
kalian…" Perhatikanlah,
walaupun mereka
disebut sebagai
"seburuk-buruk", apa yang dikatakan oleh
Nabi selanjutnya?
Beliau mengatakan
"penguasa kalian", dengan menyandarkan
kata "sejelek-jeleknya " ini kepada "penguasa kalian". Seburuk-buruk
penguasa kalian
dengan adanya
keburukan pada
mereka dan kalian tidak
mencintainya, namun
kedua hal ini masih menjadikan mereka
tetap berada di dalam
lingkup Islam walaupun
dengan kekurangan
dan keburukan
padanya. Hal ini tidak menyebabkannya
keluar dari agama.
Mereka tidaklah
melarang umat dari
sholat dan tidak pula
memerangi hukum- hukum Islam. Mereka
tetap berpegang secara
umum dengan hukum-
hukum Islam, karena
itulah Rasulullah
menyebut mereka dengan "penguasa kalian", sehingga kekuasaan mereka
kepada kalian adalah
tetap adanya. Lanjutan hadits
tersebut : … ﺮﺷﻭ ﻢﻜﺋﺍﺮﻣﺃ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻻ ﻢﻬﻧﻮﺒﺤﺗ ﻻﻭ ﻢﻜﻧﻮﺒﺤﻳ ، ﻥﻮﻋﺪﺗﻭ ﻢﻬﻴﻠﻋ
ﻥﻮﻋﺪﻳﻭ ﻢﻜﻴﻠﻋ "Dan seburuk-buruk penguasa kalian adalah
mereka yang tidak
kalian cintai dan
mereka tidak mencintai
kalian. Kalian doakan
mereka dengan keburukan dan
merekapun juga
mendoakan keburukan
bagi kalian." Hadits ini menunjukkan
dhawâbith (koridor) di
dalam beramal dan
berbicara. Namun, setiap aspek
dari kedua aspek di
atas ada tempatnya
tersendiri, dan setiap
bab dari kedua bab
tersebut ada bagiannya tersendiri. Kita tidak
boleh
mencampuradukkannya,
membuatnya rancu
dan menyamarkannya,
serta merubah tata letaknya tanpa dalil dan
argumentasi, tanpa
hujjah dan metoda. Ini
adalah kebiasaan
orang-orang rendahan.
Adapun ahlus sunnah dan ahli ittibâ' yang mengharapkan
keselamatan, maka
mereka senantiasa
mengikatkan diri
dengan hukum-hukum
syariat, dan mengikatkan diri
dengan landasan yang
diperhatikan dan
kaidah-kaidah fiqhiyah. Adapun yang ketiga
adalah sebuah atsar
yang terdapat di dalam
Shahîh ain dari Syaqîq dari Usâmah bin Zaid.
Beliau ditanya : ﻻﺃ ﻞﺧﺪﺗ ﻰﻠﻋ ﻥﺎﻤﺜﻋ ﻪﻤﻠﻜﺘﻓ … "Bersediakah Anda menemui
'Utsmân dan berbicara padanya …" Yaitu di zaman yang di
dalamnya penuh
dengan fitnah, ujian
dan malapetaka.
Sebagian orang
menghadap Usâmah dan meminta serta
menuntut beliau agar
mau berbicara dengan
penguasa, dan
'Utsmân adalah penguasa pada saat
itu, agar perkara ini
dilihat sebagai bagian
dari amar ma'rûf nahî munkar. Mereka berkata
kepadanya :
"Bersediakah Anda menemui 'Utsmân dan berbicara kepadanya ?" Lantas Apa gerangan
jawaban beliau? Beliau
berkata : ﻥﻭﺮﺗﺃ ﻦﻳﺃ ﻪﻤﻠﻛﺃ ﻻﺇ ﻢﻜﻌﻤﺳﺃ ؟ "Apakah kalian menganggap bahwa
jika aku berbicara
dengan belau lantas
aku harus
memperdengarkannya
kepada kalian?" Yaitu, kalian
menghendaki bahwa
saya tidak boleh
berbicara dengan
beliau ('Utsmân) melainkan saya harus
memperdengarkan,
atau mengabarkan,
atau menceritakan atau
menunjukkan kepada
kalian secara jelas dan terang, ataupun
dengan isyarat maupun
tercatat?!! Lalu perhatikanlah,
bagaimana beliau
membantah hal ini
dengan bagusnya.
Beliau berkata : ﻪﻠﻟﺍﻭ ﺪﻘﻟ ﻪﺘﻤﻠﻛ ﺎﻤﻴﻓ ﻲﻨﻴﺑ ﻪﻨﻴﺑﻭ ﻦﻣ ﻥﻭﺩ ﻥﺃ ﺢﺘﻓﺃ ﺍﺮﻣﺃ ﻻ
ﺐﺣﺃ ﻥﺃ ﻥﻮﻛﺃ ﻝﻭﺃ ﻦﻣ ﻪﺤﺘﻓ "Demi Alloh! Saya telah berbicara empat mata
dengan beliau. Tanpa
perlu saya membuka
hal yang tidak saya
senangi jika saya
menjadi orang yang pertama kali
membukanya. " Beginilah akhlak
seorang sahabat,
akhlaknya para salaf,
akhlak umat yang
terbaik. Ini adalah
akhlak kaum mukminin generasi awal, yang
berilmu,
berpengetahuian dan
memiliki kesabaran. Landasan pertama tadi
ayat al-Qur`ân, yang
kedua adalah hadits
dan yang ketiga adalah
atsar dari para salaf
yang shalih. Sekarang landasan keempat,
yaitu kaidah fikih.
Kaidah fikih ini berbeda
dengan kaidah ushul
fikih. Kaidah fikih itu
lebih berkaitan dengan urusan kaum muslimin
di dalam aktivitas
kehidupannya dan
kejadian pada
umumnya. Sedangkan
kaidah ushul fikih itu lebih dekat dengan akal
dan pemahaman para
ulama, di dalam
memahami dan
menggali hukum dari
nash. Adapun kaidah fikih, sesungguhnya
landasan dasarnya
digali dari keumuman
kaidah-kaidah syar 'iyah atau dalil-dalil syar 'i, baik di dalam Kitabullah
maupun di dalam
sunnah Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wa Sallam. Kaidah mendasar yang
telah disepakati oleh
para ulama yang
kredibel di dalam
memahami syariat dan
pondasinya yang kokoh adalah kaidah : ﺀﺭﺩ ﺪﺳﺎﻔﻤﻟﺍ ﻡﺪﻘﻣ ﻰﻠﻋ ﺐﻠﺟ ﺢﻟﺎﺼﻤﻟﺍ
"Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil maslahat."
Kaidah ini termasuk
kaidah fikih yang
independen lagi luas
maknanya. Ada kaidah lain yang
melekat pada kaidah
pertama ini, yang
memiliki konteks yang
serupa, yaitu : ﻥﺇ ﺏﺎﻜﺗﺭﺍ ﻒﺧﺃ ﻦﻳﺭﺮﻀﻟﺍ ﻮﻫ ﻞﺻﻷﺍ ﺎﻌﻓﺩ ﺎﻤﻫﺮﺒﻛﻷ
"Sesungguhnya mengambil keburukan yang teringan dari dua keburukan,
adalah landasan untuk menolak keburukan yang lebih besar. "

--
‎ ‎مصباح

http://www.facebook.com/abah.misbah?ref=profile#/group.php?gid=187256475997&ref=mf,
Http://nandang-MisbaH.blogspot.com,
http://sv-se.facebook.com/people/Nandang_Misbah/1297993210,
http://www.teladan.org/misbah/weblog,
http://profiles.friendster.com/56013272,
http://www.flickr.com/people/55246387@N00,
http://tagged.com/nandang_misbah
وَٱللَّهُ يَدعُواْ إِلَى دَارِ ٱلسَّلَـمِ وَيَہدِى مَن يَشَاءُ إِلَى
صِرَطٍ مُّستَقِيم

Komentar
0 Komentar

0 komentar:

Post a Comment

.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More