Penonton lebih pintar dr Pemain

Umumnya manusia senang jadi penonton walaupun bukan pemain, karena memang bukan dan tidak alhlinya jadi pemain, akan tetapi walaupun cuma penonton lebih senang mengomentarinya seakan dia ahlinya seperti penonton bola..

Membantu Janda

1687 Hadis riwayat Abu Hurairah ra. ia berkata, Nabi saw. bersabda, Orang yang berusaha membantu para janda dan orang miskin, bagaikan orang...

Bersatulah jangan Bercerai-berai

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah keep

Kawinkanlah yang sendirian

Di usia selevel kita ini sudah saatnya kita mempersiapkan diri untuk anak-anak kita sebagai hak dan kewajiban kita untuk menikahkan mereka..

Wednesday 30 April 2008

Berlindung Kepada Allah Dari Kejahatan Penjahat

Berlindung Kepada Allah Dari Kejahatan Penjahat Di masa kondisi keamanan yang rawan dan anacaman kejahatan yang mencekam, seorang Mu'min tidak boleh berputus asa dari harapan mendapatkan perlindungan terhadap keselamatan dirinya dan keluarganya. Karena seorang Mu'min tidak akan lepas dari keyakinan bahwa pelindung yang maha perkasa dan maha penyayang itu adalah Allah Ta'ala. Maka dengan modal keyakinan ini, seorang Muslim disaat kegentingan yang dihadapinya dalam hidupnya tetap mempunyai tempat pelarian dan tidak berkecil hati apalagi berputus asa untuk keluar dari kondisi kegentingan itu. Berikut ini kami hantarkan para pembaca yang budiman untuk mengenali dan menghafal do'a yang dituntunkan untuk kita panjatkan kepada Allah Ta'ala di saat-saat genting hidup kita. Al Imam An Nawawi rahihahullah dalam kitab beliau Al Adzkar, membawakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan juga diriwayatkan oleh An Nasa'ie dalam As Sunanul Kubra. Al Imam An Nawawi menshahihkan riwayat ini. Dalam riwayat tersebut diceritakan, bahwa Abu Musa Al Asy'ari radhiyallahu anhu meriwayatkan : Bahwa Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, bila takut dari kejahatan suatu kaum maka beliau berdo'a dengan lafadl berikut ini : (tulis lafadl haditsnya dalam Al Adzkar hal. 218 riwayat ke 319) Allahumma Inna Naj'aluka Fi Nuhurihim, Wa Na'udzubika min Syururihim “Ya Allah, kami menjadikan Engkau sebagai pihak yang memegang leher-leher mereka (yakni dalam posisi siap mencekik mereka setiap saat –pent), dan kami berlindung kepaMu dari berbagai kejahatan mereka”. Diriwayatkan pula oleh Imam An Nawawi dalam Al Adzkar beliau riwayat Abu Dawud dan lain-lainnya dari Amer bin Syu'aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amer bi Al Ash, dari bapaknya (yakni dari Syu'aib), dari kakeknya (yakni dari Abdullah bin Amer bin Al Ash), katanya bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam mengajari para Shahabat beliau bila dalam ketakutan mengucapkan do'a demikian : (tulis lafadl do'anya di Al Adzkar riwayat ke 259 halaman 181) A'udzu Bi Kalimaatillahit Taammaati Min Ghadlabihi Wa Syarri ‘Ibadihi Wa Min Hamadztis Syayathiin Wa An Yahdhurun “Aku berlindung dengan Kalimat Allah (yakni berlindung dengan Omongan Allah Ta'ala) yang Maha Sempurna, dari KemurkaanNya, dan berlindung dari kejahatan hamba-hambaNya, dan juga berlindung kepadaNya dari berbagai bisikan syaithan dan aku berlindung kepadaNya dari bahaya hadirnya syaithan di tengah kami”. Do'a yang terakhir ini juga diucapkan ketika akan tidur. Demikian Imam An Nawawi menerangkan dalam Al Adzkarnya. Demikian do'a yang diajarkan untuk memohon perlindungan kepada Allah Ta'ala dalam berbagai kegentingan. Hafalkan dan fahami lafadl-lafadl do'a yang penting ini dan amalkan. Semoga anda termasuk hamba Allah yang cerdas, sehingga dapat melihat bukti perlindungan Allah terhadap hambaNya bila sang hamba memohon perlindungan kepadaNya. Amin Ya Mujibas sa'ilin. 1. Sunan Abi Dawud, hadits ke 1537. 2. Sunan Abi Dawud, hadits ke 3893, juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunannya di hadits ke 3519, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya jilid 2 hal. 181, juga Al Hakim dalam Mustadraknya jilid 1 hal. 548.

Jihad Melawan Hawa Nafsu

Jihad Melawan Hawa Nafsu Admin 28 April 2008 Saya ingin minta bantuan untuk menginformasikan tentang hadits atau riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam pernah bersabda tentang jihad al-nafs yang merupakan jihad akbar. Sedangkan jihad berperang adalah jihad ashghar. Ada orang yang menolak riwayat itu karena (katanya) sama sekali bukan hadits Nabi dan bisa menyebabkan umat Islam meremehkan jihad perang. Benarkah pendapat ini? (Thariq Husain di bumi Allah) Jawab: Hadits anda riwayat yang anda tanyakan bunyinya demikian: “Kita baru pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu.” Apa yang disangka sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam ini beredar luas di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan para penganut aliran-aliran tasawuf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan: “Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian orang-orang tasawwuf itu yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda dengan hadits tersebut ketika dalam perang Tabuk (kemudian beliau menukilkan bunyi hadits tersebut di atas), yang demikian ini adalah hadits yang tidak ada asalnya sama sekali dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari Ahli hadits. Bahkan sesungguhnya jihad memerangi orang-orang kafir adalah sebesar-besar amalan dan merupakan amalan yang paling utama yang dilakukan oleh seorang Muslim.” (Majmu’ Fatawa jilid 11 hal. 197) Mengapa hadits yang demikian, beredar luas di kalangan para penganut thariqah shufiyah (yakni aliran tasawwuf)? Hal ini karena memang mereka merendahkan amalan jihad dalam memerangi orang-orang kafir. Ibnu Taimiyah menerangkan: “Mereka ini berpandangan miring terhadap amalan jihad karena padanya ada resiko membunuh musuh, menawan tawanan dan merampas harta musuh. Mereka berpandangan bahwa Allah tidak memberikan kekuasaan kepada Nabi Daud `alaihis salam terhadap Masjidil Aqsha karena Nabi Daud tangannya telah menumpahkan darah manusia dalam peperangan demi peperangan.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 10 hal. 510). Dengan demikian keterangan atau pendapat yang disampaikan kepada anda itu adalah benar. Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Tuesday 29 April 2008

Refleksi Hati

Refleksi Hati admin Tanya: Apa makna ikhlas itu? dan bagaimana hukumnya jika seseorang mempunyai orientasi lain dalam beribadah? Jawab: Mengikhlaskan niat untuk Allah Ta’ala maknanya ialah seseorang beribadah kepada Allah dengan tujuan mendekatkan diri (taqorrub) kepada-Nya dan untuk mengantarkannya ke surga-Nya. Adapun apabila dikatakan bahwa seseorang mempunyai orientasi lain dalam ibadahnya, maka disini terdapat perincian hukum atasnya: Yang pertama, seseorang beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan juga berupaya mendapatkan sanjungan dan pujian dari manusia atas amalan yang telah dilakukannya. Maka amalan dalam kategori yang pertama ini sia-sia. Dan perbuatan yang demikian ini termasuk syirik kepada Allah. Dalam riwayat yang shahih dinyatakan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu; bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Aalihi Wa Sallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Aku adalah yang paling tidak membutuhkan sekutu-sekutu dari segala bentuk persekutuan. Maka barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan dalam rangka menyekutukan Aku, sungguh Aku meninggalkan dirinya dan para sekutunya.” (HR. Muslim no. 2985) Yang kedua, seseorang beribadah dalam rangka menyalurkan ambisinya terhadap kesenangan duniawi; seperti kepemimpinan, kemegahan dan harta. Dan dia beramal dengan amalan ibadah tanpa disertai niat dan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Maka amalan dalam kategori yang kedua ini pun termasuk sia-sia. Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami akan berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka didunia dengan sempurna dan mereka didunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh apa-apa di akhirat; kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah di usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (Huud: 15-16) Perbedaan antara amalan yang pertama dan kedua ialah bahwa yang pertama tujuannya untuk mendapatkan sanjungan dan pujian manusia pada amalan ibadahnya. Adapun yang kedua tidak mempunyai tujuan untuk itu, bahkan dia menganggap tidak begitu penting sanjungan dan pujian manusia ketika menjalankan segenap amalan-amalan ibadah. Yang ketiga, seseorang beribadah kepada Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya dan juga disertai keinginan memperoleh tujuan duniawi sebagai hasilnya. Seperti orang yang melakukan thaharah (bersuci) dengan niat beribadah kepada Allah Ta’ala dan juga disertai niatan lain yakni untuk menyegarkan badan dan menghilangkan keringat, atau seperti orang pergi haji disertai niat untuk menyaksikan tempat-tempat manasik haji dan melihat bukti-bukti bersejarah yang ada disana; maka perbuatan semisal ini dapat mengurangi pahala keikhlasan. Akan tetapi jika niat beribadah kepada Allah tersebut lebih dominan; maka sungguh telah luput darinya pahala yang sempurna. Dan perbuatannya itu tidaklah dianggap dosa bagi dirinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhan-mu”. (Al-Baqarah: 198) Namun jika ternyata niatnya lebih cenderung ditujukan untuk selain beribadah kepada Allah, maka tidak ada pahala baginya diakhirat kelak, dan dia hanya mendapatkan ganjaran didunia. Aku merasa khawatir bahwa orang yang mempunyai niat seperti ini akan berdosa, karena dia menjadikan ibadah sebagai perantara untuk mendapatkan kesenangan duniawi yang tidak berharga, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan diantara mereka ada yang mencelamu tentang (pembagian) sedekah; jika mereka diberi bagian, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi bagian, tiba-tiba mereka marah”. (At-Taubah: 58) Dalam Sunan Abu Dawud dinyatakan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu: “Bahwa seorang pria berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, “Ada seseorang yang ingin berjihad dijalan Allah akan tetapi dia juga menginginkan harta benda dari harta-harta dunia”, maka berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam: “Tidak ada pahala baginya” (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Aalihi Wa Sallam mengulangi pernyataannya tersebut sebanyak tiga kali). Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Aalihi Wa Sallam juga bersabda: “Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dicapainya atau kepada wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dia upayakan dengannya”. (HR. Abu Dawud no. 2516 dan Ahmad jilid 2/366) Jika kualitas niatnya sebanding yakni 50% dari kadar niatnya ditujukan untuk beribadah kepada Allah dan 50% lagi ditujukan untuk selain beribadah kepada Allah, maka disini perlu penelitian. Namun yang paling dekat ialah tidak ada pahala baginya sama seperti orang yang niat beramal untuk Allah dan juga untuk selain-Nya. Perbedaan antara contoh diatas dengan contoh sebelumnya (yang ketiga) ialah bahwa tujuan beribadah kepada selain Allah dalam contoh yang ketiga (ketika bersuci) akan memperoleh sesuatu yang tidak mungkin dihindari (yakni menyegarkan badan). Maka keinginannya ialah keinginan yang menghasilkan sesuatu secara tidak langsung. Dan seolah-olah terkesan bahwa dia menginginkan dari amalan yang dilakukannya itu untuk kepentingan dunia (menyegarkan badan). Jika dikatakan: “Apa yang menjadi timbangan dalam contoh tersebut diatas bahwa niatnya lebih dominan ditujukan untuk beribadah kepada Allah atau sebaliknya?” Syaikh rahimahullah menjawab: yang dijadikan timbangan ialah apabila dia menganggap tidak perlu segala bentuk niatan selain ibadah; menghasilkan atau tidak, maka ini sebagai bukti yang menunjukkan bahwa niatnya dalam beribadah kepada Allah lebih dominan, begitu juga sebaliknya. Walhasil niat itu ialah apa yang terbetik didalam hati. Dan perkara niat ini memiliki pengaruh yang besar dan krusial. Niat terkadang dapat memuliakan seorang hamba hingga mencapai derajat Ash-Shiddiqiin (orang-orang yang jujur), dan juga terkadang dapat merendahkan derajat seorang hamba sehingga menjadi makhluk yang teramat hina, berkata sebagian Salaf: “Apa yang diupayakan diri dalam menempuh sesuatu, upayakanlah diatas keikhlasan” Kita memohon kepada Allah agar menganugrahkan pada diri kita keikhlasan niat dan amalan yang shalih. Majmu' Fatawa Wa Rasa'il, 1/98-100 Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin Rahimahullah Penterjemah : Fikri Abul Hassan

Keutamaan

Keutamaan Istighfar Dari Al Aghor Al Muzani Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullaah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda: “Bahwasanya terkadang timbul perasaan yang kurang baik dalam hati dan aku membaca istighfar (mohon ampun) kepada Allah seratus kali dalam sehari”. (HR. Muslim) Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullaah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku mohon ampun dan bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari”. (HR. Bukhari) Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menghilangkan kalian dari muka bumi dan Allah akan mendatangkan suatu kaum lain yang berbuat dosa, lalu beristighfar (memohon ampun) kepada Allah Ta’ala. Dan Allah mengampuni mereka”. (HR. Muslim) Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Kami menghitung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam membaca : “Robbighfirlii watub ‘alaiyya innaka antat tawwaaburrohiim” (Ya Tuhan, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang) ..sebanyak seratus kali dalam satu majlis”. (HR. Abu Dawud & At Tirmidzi) Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda: “Barangsiapa membiasakan beristighfar, maka Allah melapangkan kesempitannya dan memudahkan segala kesulitannya dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tiada disangka-sangka”. (HR. Abu Dawud) Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berdoa: “Astaghfirullaahalladzii laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyuum wa atuubu ilaihi” (Saya mohon ampun kepada Allah Dzat yang tidak ada sesembahan yang benar melainkan Dia yang Maha Hidup, lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya dan saya bertaubat kepada-Nya), maka diampunilah dosa-dosanya walaupun lari dari perang”. (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi & Al Hakim, Berkata Al Imam An Nawawi: hadits ini shahih berdasarkan syarat Al Bukhari & Muslim) Penjelasan Syaikh Muhammad Bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkenaan dengan riwayat-riwayat diatas: Berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, sebagaimana yang diriwayatkan Al Aghor Al Muzani Radhiyallahu ‘anhu: (“Bahwasanya terkadang timbul perasaan yang kurang baik dalam hati”) yakni sesuatu yang membuat kalut pikiran dan perasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam (“dan aku membaca istighfar (mohon ampun) kepada Allah seratus kali dalam sehari”) kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam mengucapkan istighfar (astaghfirullah) dalam sehari sebanyak seratus kali. Perhatikan perangai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam diatas, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengampuni dosa-dosa beliau Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang telah lalu dan yang akan datang, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam tetap beristighfar memohon ampun kepada Allah. Maka bagaimana dengan kita? dimana kita memiliki hati yang keras, bahkan mati dan tidak terlintas rasa kurang baik dalam hati serta pikiran ketika melakukan dosa-dosa dan pelanggaran. Dan sungguh engkau akan dapati manusia sangat sedikit untuk menaruh perhatian dalam masalah ini. Oleh karena itu sudah semestinya bagi manusia meneladani perangai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang mulia, yakni dengan banyak beristighfar sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, “Kami menghitung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam membaca : “Robbighfirlii watub ‘alaiyya innaka antat tawwaaburrohiim” (Ya Tuhan, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang) ..sebanyak seratus kali dalam satu majlis”. (HR. Abu Dawud & At Tirmidzi) Demikian yang diamalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dan itu merupakan suatu kenikmatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas hamba-Nya ketika si hamba terpedaya untuk berbuat dosa dan kemudian beristighfar memohon ampun kepada Allah. “Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menghilangkan kalian dari muka bumi dan Allah akan mendatangkan suatu kaum lain yang berbuat dosa, lalu beristighfar (memohon ampun) kepada Allah Ta’ala. Dan Allah mengampuni mereka”. (HR. Muslim) Riwayat diatas memberikan motivasi bagi manusia, agar mau bersungguh-sungguh dalam beristighfar dan memperbanyaknya. Karena dengan sebab itu manusia dapat mencapai derajat orang-orang yang suka beristighfar kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Sebagaimana yang dinyatakan Abu Dawud dalam Sunan-nya: “Barangsiapa membiasakan beristighfar, maka Allah melapangkan kesempitannya dan memudahkan segala kesulitannya dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tiada disangka-sangka”. (Barangsiapa membiasakan beristighfar) yakni dalam keadaan terus-menerus beristighfar dan memperbanyaknya, maka akan menjadi sebab untuk melapangkan kesempitan dalam hidupnya dan memudahkan segala kesulitannya serta memberi rizki kepadanya dari arah yang tiada disangka-sangka. Hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan Istighfar dan pujian serta motivasi bagi pelakunya sangatlah banyak. Maka wajib atasmu wahai saudaraku untuk memperbanyak istighfar. Yang paling banyak diucapkan: “Allahummaghghfirli (Ya Allah ampunilah aku), Allahummarhamni (Ya Allah rahmatilah aku), Astaghfirullaaha wa atuubu ‘ilaih (Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya) dan lafadz-lafadz yang semisalnya. Semoga pada hari kiamat kelak engkau berjumpa dengan Allah dalam keadaan dijawab permohonanmu, dan Allah mengampunimu. Wallahul muwaffiq. Syaikh Muhammad Bin Shalih Al 'Utsaimin Rahimahullaah Syarh Riyadhus Shalihin, Hal. 559 - 560

Monday 28 April 2008

ABAH

Sunday 27 April 2008

Kelembaban Wanita

Ar-Ruthubah (Kelembapan Pada Kemaluan Wanita) Admin 15 April 2008 Banyak pertanyaan yang ditujukan ke meja redaksi melalui telpon ataupun surat, yang menanyakan tentang hukum kelembapan pada kemaluan wanita, apakah kelembapan itu sampai membasahi celana dalamnya itu dianggap najis atau suci menurut Syari'ah Islamiyah ?. Maka dari itulah, dalam pembahasan kali ini kami memilih topik yang berkenaan dengan masalah tersebut agar menjadi jelas masalahnya bagi segenap pembaca yang budiman. Ar Ruthuubah itu secara bahasa maknanya ialah kelembapan, dan yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah kondisi berair pada lubang vagina dan permukaan (yakni bagian luar) vagina tersebut. Kondisi berair itu kadang-kadang karena sedang memuncaknya gairah seksual pada wanita itu, atau karena penyakit keputihan yang banyak menjangkiti vagina (kemaluan) wanita. Cairan kelembapan tersebut kadang-kadang hanya berada di dalam vagina karena sangat sedikitnya. Tetapi kadang pula mengalir keluar sampai membasahi celana dalamnya. Al Imam An Nawawi dalam Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab jilid 2 halaman 526 menerangkan : “Kelembapan pada kemaluan wanita itu dalam bentuk cairan berwarna putih yang bentuk cairannya seperti madzi atau sebagai keringat yang ada pada lubang vagina itu. Oleh karena itu telah terjadi perbedaan pendapat diantara para Ulama' dalam masalah ini”. Dalam perkara ini yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama' adalah, apakah cairan kelembapan tersebut najis ataukah tidak ? dan apakah keluarnya cairan tersebut menyebabkan batalnya wudlu' ataukah tidak ? Berikut, kami bawakan perdebatan para Ulama' berkenaan silang pendapat di kalangan mereka serta keterangan tarjih (yakni penetapan mana yang lebih kuat dari berbagai pendapat itu). Agar kiranya dapat menjadi kejelasan ilmu bagi segenap pembaca yang budiman. Beberapa Pendapat Para Ulama' : Pembahasan masalah ini masih berkaitan dengan silang pendapat berkenaan dengan najis atau tidaknya mani. Sehingga terdapat dua golongan pendapat yang masing-masingnya membangun pendapatnya di atas dalil-dalil yang diyakini masing-masingnya. Dua golongan pendapat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Para Ulama' yang berpandangan najisnya cairan kelembapan itu, karena meyakini najisnya mani. Karena itu mereka mengatakan bahwa mani wanita itu tercampur pada cairan tersebut sehingga dikatagorikanlah cairan itu adalah benda najis. Diantara para yang termasuk berpendapat demikian ini adalah : Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit, Malik bin Anas dan lain-lainnya. 2. Para Ulama' yang berpandangan tidak najisnya mani, berpandangan bahwa cairan kelembapan itu tidak najis juga. Karena buktinya mani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang mestinya tercampur dengan cairan tersebut ketika bersetubuh dengan istrinya tidak dianggap najis oleh para istri beliau sehingga baju beliau yang terkena mani itu tidak dicuci oleh istri-istri beliau. Yang termasuk dalam kalangan Ulama' yang berpendapat demikian adalah : Muhammad bin Idris As Syafi'ie, Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya. Karena perkara ini adalah merupakan perkara khilafiyah, maka tentunya harus ada upaya tarjih diantara berbagai pendapat itu dengan mempertimbangkan kekuatan dalil masing-masing pendapat itu. Karena kita hanya mengikuti dalil dalam berIslam dan yang dinamakan dalil itu adalah Al Qur'an dan Al Hadits. Dalam hal ini ada beberapa hadits yang menjadi dalil Syar'ie bagi kedua golongan Ulama' yang berbeda pendapatnya. Beberapa hadits tersebut adalah sebagai berikut : 1. Riwayat Utsman bin Affan radhiyallahu anhu yang menerangkan bahwa seorang suami yang menyetubuhi istrinya tetapi tidak keluar mani, maka wajib bagi suami tersebut mencuci kemaluannya dan kemudian berwudlu'. Utsman menyatakan : “Aku mendengar yang demikian itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam”. Riwayat tersebut dibawakan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke : 292 dan Muslim juga dalam Shahihnya hadits ke 347/86. Dari riwayat ini dipahami oleh sebagian Ulama', bahwa perintah mencuci kemaluan pria itu menunjukkan najisnya cairan kelembapan pada vagina walaupun dia dalam bersetubuh itu tidak sampai keluar mani. 2. Riwayat Ubay bin Ka'ab radhiyallahu anhu menyatakan bahwa beliau pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam : Wahai Rasulallah, bagaimanakah bila seorang pria bersetubuh dengan seorang wanita tetapi tidak sampai keluar mani ? Maka Rasulullah menjawab : Dia mencuci darinya apa yang menyentuh wanita itu kemudian berwudlu' dan shalat”. HR. Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 293, Muslim dalam Shahihnya hadits ke 346/84. Dari hadits ini dipahami oleh sebagian Ulama' bahwa perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam kepada Ubay untuk mencuci kemaluannya yang telah masuk pada vagina istrinya itu menunjukkan najisnya air kelembapan yang ada padanya. 3. Riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda : “Apabila seorang pria telah menempati empat sisi tubuh wanita (yakni dalam posisi bersenggama dengannya -pent) kemudian memasukkan kemaluannya kepada kemaluan wanita itu, maka sungguh telah wajib mandi (yakni mandi junub -pent) atasnya”. HR. Muslim dalam Shahihnya hadits ke 348/87. Dalam riwayat ini Imam Muslim menyatakan: “Dalam hadits riwayat Mathrin disebutkan adanya pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam : ……Walaupun tidak keluar mani”. Maksudnya ialah, wajib mandi junub atas keduanya walaupun tidak sampai keluar mani dalam persenggamaannya. Juga dibawakan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya hadits ke 350/89 dari riwayat A'isyah Ummul Mu'minin radhiyallahu anha, beliau memberitakan : “Seorang pria bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam tentang seorang suami yang bersenggama dengan istrinya, kemudian dia menghentikannya dalam keadaan belum keluar mani. Apakah diwajibkan atas suami istri itu untuk mandi junub ? A'isyah waktu itu duduk disamping beliau, maka beliaupun menjawab pertanyaan pria tersebut dengan mengatakan : Sesungguhnya aku telah melakukannya (yakni bersenggama) dengan istriku ini dalam keadaan tidak keluar mani, kemudian kami mandi junub setelah itu”. Riwayat-riwayat ini menunjukkan hukum wajibnya mandi junub atas pria dan wanita bila telah bersenggama dengan masuknya kepala kemaluan pria itu pada lubang kemaluan wanita, walaupun tidak keluar mani. Hukum tersebut tentunya berbeda dengan hukum yang diterangkan dalam riwayat-riwayat pertama dan kedua, yang tidak mewajibkan mandi junub bagi mereka yang bersenggama tetapi belum sampai keluar maninya. 4. Imam Muslim An Nisaburi rahimahullah membawakan riwayat, dari pernyataan Abul Ala ' bin As Syikhkhir, yang menjelaskan : “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam menghapus hukum sebagian hadits beliau dengan hadits yang lainnya sebagaimana Al Qur'an yang menghapuskan sebagian hukum ayatnya dengan ayat yang lainnya”. Shahih Muslim hadits ke 344/82. Al Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan, mengapa Imam Muslim membawakan riwayat ini di tengah berbagai riwayat yang bertentangan satu dengan yang lainnya itu. Beliau menjelaskan : “Dan yang dimaukan oleh Imam Muslim dengan membawakan riwayat ini di sini, adalah untuk menegaskan keyakinannya bahwa hadits yang mengharuskan mandi wajib hanya bagi yang keluar mani dalam persenggamaannya itu adalah hadis yang telah terhapus hukumnya”. Syarh Shahih Muslim oleh Al Imam An Nawawi jilid 1 halaman 31. 5. Al Imam At Tirmidzi rahimahullah telah meriwayatkan dalam Sunannya jilid 1 halaman 183 – 184 riwayat ke 110 & 111 dari Az Zuhri dari Sahel bin Sa'ad yang mendengar Ubay bin Ka'ab mengatakan : “Hanyalah ketentuan harus mandi junub bila keluar mani dalam persetubuhan, adalah sebagai ketentuan yang merupakan keringanan di awal masa diajarkannya pertama kali agama Islam. Kemudian setelah itu keringanan ini dihapus”. Yakni semula kewajiban mandi junub hanya dikenakan atas pria dan wanita yang keluar mani dalam persetubuhannya, dan bila tidak keluar mani dalam persetubuhan itu, maka tidak wajib mandi junub. Melainkan hanya berwudlu dan mencuci batang kemaluannya yang telah masuk ke dalam lubang kemaluan wanita itu. Tetapi setelah itu, diwajibkan mandi junub atas pria dan wanita yang melakukan persetubuhan walaupun tidak keluar mani dalam persetubuhan itu. Demikian diterangkan oleh Al Imam At Tirmidzi setelah membawakan riwayat pernyataan Ubay bin Ka'ab tersebut, dan beliau mengatakan pula bahwa keterangan Ubay tersebut tentang penghapusan hukum keringanan itu tidak hanya diberitakan oleh Ubay, akan tetapi juga dibawakan pula oleh Shahabat Nabi yang lainnya. Yaitu Rafi' bin Khudaij dan lain-lainnya. Al Imam Ahmad Syakir rahimahullah menerangkan dalam memberikan catatan kaki terhadap riwayat At tirmidzi tersebut : “Adapun riwayat yang menyatakan telah dihapusnya hukum keringanan tersebut, adalah riwayat yang telah pasti keshahihannya dengan beberapa hadits shahih yang telah disebutkan”. Dengan demikian, hadits-hadits yang pertama dan ke dua adalah hadits-hadits yang telah mansukh (yakni terhapus hukumnya) dengan keterangan hadits ke tiga. 6. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari A'isyah radhiyallahu anha, bahwa beliau mengerik mani kering yang menempel pada baju Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam dengan kuku beliau kemudian Rasulullah menunaikan shalat dengan baju tersebut. Demikian diriwayatkan dalam Shahih Muslim juz 3 hal. 530 hadits ke 290/109. Dalam menerangkan hadits ini Al Imam An Nawawi rahimahullah menegaskan : “Sekelompok Ulama' telah berdalil dengan hadits ini, bahwa cairan kelembapan pada lubang vagina wanita itu adalah suci. Dan dalam perkara ini telah terjadi perbedaan pendapat yang telah dikenal di kalangan para Ulama', tetapi yang nyata adalah sucinya cairan kelembapan itu. Karena Nabi sallallahu alaihi waalihi wasallam tidak mungkin bermimpi yang mengakibatkan keluar mani, sebab mimpi yang demikian itu adalah permainan syaithan terhadap orang yang tidur. Oleh karena itu tidak mungkin mani kering yang menempel pada baju beliau itu kecuali adalah mani yang terpancar karena persetubuhan beliau dengan istrinya. Sehingga bisa dipastikan di sini, bahwa mani yang mengena baju beliau itu adalah mani yang telah melalui lubang vagina istri beliau yang tentunya tercampur dengan cairan kelembapannya kemudian keluar dari vagina itu dan mengenai baju beliau. Maka kalau seandainya cairan kelembapan pada vagina itu adalah najis, tentu mani yang mengena baju beliau itu adalah najis. Tetapi kenyataannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam membiarkan mani tersebut menempel pada bajunya dan tidak mencucinya, bahkan beliau mencukupkannya dengan mengeriknya, maka ini menunjukkan sucinya mani dan cairan kelembapan itu”. Syarah Shahih Muslim jilid 3 halaman 531. Al Imam Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi rahimahullah menyatakan dalam Al Hawi Al Kabir jilid 1 halaman 259 : “Dan sungguh telah diriwayatkan keterangan dari Al Imam Asy Syafi'ie di sebagian kitab-kitab beliau, bahwa beliau berpandangan tentang sucinya cairan kelembapan vagina wanita itu dan tidak wajib untuk dicuci seperti hukumnya mani (yang terkena baju)”. Dengan demikian, setelah kita mendapat kepastian, dalil-dalil bagi Ulama' yang berpandangan tentang najisnya mani dan cairan kelembapan vagina wanita itu adalah dalil-dalil yang telah mansukh (yakni terhapus hukumnya). Sedangkan dalil-dalil bagi Ulama' yang berpandangan sucinya mani dan cairan kelembapan tersebut, tidak ada satu keteranganpun yang menggugurkannya, maka dengan penuh keyakinan, kita cenderung kepada pendapat Ulama' yang menyatakan sucinya mani dan cairan kelembapan tersebut. Dengan demikian pula, para wanita tidak wajib mencuci celana dalamnya yang terkena cairan itu dan boleh menggunakannya untuk shalat. P e n u t u p : Sebagaimana yang telah kita terangkan sebelumnya, bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya adalah suci, kecuali bila ada keterangan dari Al Qur'an dan Al Hadits yang menegaskan najisnya, barulah sesuatu itu dianggap najis. Demikian juga tentunya tentang permasalahan Ar Ruthubah ini, dalil-dalil yang dijadikan landasan oleh para Ulama' yang berpandangan dengan kenajisannya, adalah hadits-hadits yang telah mansukh walaupun dari segi sanad ia adalah hadits-hadits yang sangat meyakinkan keshahihannya. Oleh karena itu, seandainya tidak ada keterangan dari perbuatan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, maka Ar Ruthubah itu adalah suci. terlebih lagi adanya keterangan dari A'isyah Ummul Mu'minin yang mengisyaratkan bahwa Ar Ruthubah itu adalah perkara suci dan bukan najis. Wallahu a'lamu bis shawab.

Garis Antara Wali Allah & Wali Syaithan

Garis Antara Wali Allah & Wali Syaithan

Tanya : Saya sering mendapat cerita di kampung bahwa orang itu bisa melakukan kontak batin dengan orang lain walaupun tempatnya berjauhan. Seperti dia pernah menyatakan bahwa dia biasa ketemu orang di Mekah, padahal orang tersebut ada di kampungnya sendiri di Indonesia. Bagaimana pandangan Islam tentang hal ini, apakah yang demikian itu memang bisa terjadi pada seseorang ?

Nur Wahidah di bumi Allah.

Jawab : Segala keanehan pada seseorang itu sebabnya bisa jadi karena ketha’atan orang itu kepada Allah dan RasulNya, atau bisa jadi pula karena ketha’atannya kepada syaithan. Bila keanehan pada seseorang itu muncul karena ketha’atannya menjalankan Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah RasulNya (Al Hadits), maka keanehan itu dinamakan Karomah sebagai anugerah dari Allah Ta’ala. Tetapi bila berbagai keanehan pada seseorang itu muncul dalam keadaan orang tersebut tenggelam dalam berbagai amalan bid’ah, syirik, dan berbagai bentuk amalan kema’siatan kepada Allah, maka semua keanehan itu dinamakan sihir karena dibantu oleh syaithan. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya dalam Al Qur’an dan Al Hadits sebagai berikut :

“Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu adalah mereka yang tidak dijangkiti oleh rasa takut dan tidak pula diganggu oleh rasa sedih. Yaitu mereka yang beriman dan bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dunia dan di akherat. Tidak akan ada perubahan pada ketentuan Allah. Yang demikian itu adalah keberhasilan yang besar”. (S. Yunus 62 – 64) Al Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir At Thabari rahimahullah meriwayatkan dalam tafsir beliau sebuah hadits Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang menyatakan :

“Sesungguhnya dari hamba-hamba Allah, ada orang-orang yang para Nabi dan para Syuhada’ (yakni orang-orang yang terbunuh dalam membela agama Allah – pent)”. Para Shahabat beliau bertanya : “Siapakah mereka wahai Rasulullah, barang kali kami bila mengenal mereka, kami akan mencintai mereka ?”. Maka Rasulullahpun menjawab : “Mereka itu adalah kaum yang saling menyinta di jalan Allah bukan karena harta dan bukan pula karena nasab turunan. Wajah mereka dari cahaya dan mereka ditempatkan di atas panggung yang diciptakan dari cahaya. Mereka itu tidak merasa takut ketika keumuman orang takut dan mereka tidak bersedih ketika keumuman orang bersedih” , kemudian beliau membacakan (ayat 62 – 64 S. Yunus).

Bila pada orang-orang yang demikian ini terjadi kejadian-kejadian aneh, apakah dalam bentuk mampu berkomunikasi dari jarak yang sangat jauh ataukah berbagai keanehan lainnya, maka yang demikian itu dinamakan Karamah sebagai anugerah, pertolongan dan perlindungan dari Allah kepadanya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Aalihi Wasallam sebagai berikut :

“Takutlah kamu dari firasatnya orang Mu’min, karena dia melihat dengan cahaya Allah”. (HR. Abu Nu’aim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 6 halaman 118, juga diriwayatkan oleh At Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir jilid 8 halaman 102 hadits ke 7497 dari Abi Umamah radhiyallahu anhu. Al Imam Ibnu Hajar Al Haitsami dalam kitabnya Majma’uz Zawa’id jilid 10 halaman 268 menilai, bahwa hadits ini sanadnya hasan).

Juga telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Aalihi Wasallam sebagai berikut :

“Tidak henti-hentinya hambaKu mendekat kepadaKu dengan mengamalkan ibadah-ibadah sunnah, sehingga Aku mencintainya. Maka bila Aku telah mencintainya, maka Aku yang menjadi pendengarannya ketika dia mendengar. Dan Aku yang menjadi penglihatannya ketika dia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya ketika dia menggunakan tangannya, dan Aku yang menjadi kakinya ketika dia berjalan, maka dengan Aku dia mendengar dan dengan Aku dia melihat, dengan Aku dia menggerakkan tangannya, dan dengan Aku dia berjalan. Dan bila dia meminta kepadaKu, maka Aku akan memberinya. Bila dia meminta perlindungan kepadaKu niscaya Akupun akan melindunginya. Dan Aku tidak pernah ragu dalam suatu perkara yang Aku lakukan, seperti keraguanKu ketika Aku mencabut nyawa hambaKu yang Mu’min ini. Dia tidak suka mati, dan Aku tidak suka menyakitinya, padahal mati itu adalah suatu perkara yang harus terjadi padanya”. (HR Bukhari dan lainnya).

Adapun berbagai keanehan pada orang yang menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah RasulNya, maka yang demikian itu adalah bantuan setan sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya sebagai berikut :

“Dan setan itu hanyalah menakut-nakuti para pengikutnya. Oleh karena itu, janganlah kamu takut kepada para setan itu. Akan tetapi kalian hendaknya takut kepadaKu saja bila kamu memang orang-orang yang beriman”. S. Al Imran 175.

Juga Allah menegaskan betapa setan itu disamping menakut-nakut para pengikutnya, dia selalu membimbing para pengikutnya dengan berbagai ilmu yang diilhamkan kepadanya :

“Dan sesungguhnya setan itu mengilhamkan kepada para pengikutnya untuk mendebat kalian. Dan bila kalian menta’ati para pengikut setan itu, niscaya jadilah kalian sebagai orang-orang yang musyrik (yakni berbuat syirik)”. S. Al An’am 121.

Jadi menilai seseorang dalam hal munculnya berbagai keanehan pada dirinya itu, ialah dengan menilai sejauh mana penampilan dhahir dia dalam menjalankan Al Qur’an dan As Sunnah. Maka dengan demikian, barulah diketahui bahwa dia sebagai wali Allah (yakni kekasih Allah) atau dia itu wali setan (yakni kekasih setan).

Syirik Sumber Malapateka & Kedzaliman

Syirik Sumber Malapateka & Kedzaliman

Syirik adalah menjadikan sekutu atau tandingan selain Allah Ta'ala dalam perkara rububiyahNya (meyakini bahwa Allah sebagai satu-satunya pihak yang mencipta, memberi rizki dan mengatur segala urusan, -red) dan uluhiyahNya (meyakini bahwa Allah sebagai satu-satunya pihak yang berhak disembah). Keumuman yang terjadi ditengah masyarakat kita ialah syirik dalam perkara uluhiyahNya; seperti berdoa kepada Allah dan bersamaan dengan itu juga berdoa kepada selainNya, atau memalingkan niat kepada sesuatu dalam melakukan peribadatan seperti penyembelihan, nazar, takut, berharap dan cinta. Perbuatan syirik ini merupakan dosa yang paling besar diantara dosa-dosa yang ada, dengan alasan dan sebab sebagai berikut:

Yang pertama, karena sesungguhnya dengan perbuatan syirik itu seorang hamba telah menyerupakan atau mensejajarkan Allah dengan makhluk dalam kekhususan uluhiyahNya. Maka barangsiapa yang berbuat kesyirikan berarti secara langsung maupun tidak, dia mempunyai anggapan bahwa Allah sejajar dengan makhlukNya. Dan yang demikian ini merupakan satu tindakan yang sangat dzalim dari berbagai kedzaliman yang ada. Allah Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya perbuatan syirik itu merupakan kedzaliman yang besar". (Luqman: 13)

Kedzaliman itu maknanya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Maka barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah berarti dia telah meletakkan ibadah bukan pada tempatnya yakni memalingkan peribadatan kepada pihak yang tidak berhak atasnya untuk disembah, sungguh hal ini merupakan puncak kedzaliman.

Kedua, Allah Ta'ala telah mengabarkan kepada kita bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa syirik bagi orang yang belum sempat bertaubat atas perbuatannya. Allah Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan syirik itu dan Dia mengampuni perbuatan selain syirik bagi siapa yang dikehendakiNya". (An Nisa: 48)

Ketiga, Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga telah mengabarkan kepada kita bahwa Dia mengharamkan surga atas orang yang berbuat kesyirikan (musyrik) dan baginya kekekalan di neraka jahannam. Allah Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga atasnya, dan tempatnya adalah di neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun". (Al Ma'idah: 72)

Ke-empat, perbuatan syirik ini menjadi sebab gugurnya segenap amalan sholeh yang pernah dilakukan. Allah Ta'ala berfirman:

"Seandainya mereka memepersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan". (Al An'am: 88)

Allah Ta'ala juga berfirman:

"Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (hai Muhammad) dan kepada (nabi-nabi) sebelummu, jika kamu mempersekutukan (Allah) niscaya akan gugurlah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi". (Az Zumar: 65)

Kelima, bahwa orang-orang yang berbuat syirik (musyrikin) halal darahnya untuk ditumpahkan dan halal hartanya untuk dirampas. Allah Ta'ala berfirman:

"Maka bunuhlah kaum musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian". (At Tawbah: 5)

Rasulullah 'Alaihish Sholaatu Wassalam bersabda:

"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka menyatakan Laa ilaaha illallah (tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah), maka apabila mereka telah menyatakannya; sungguh telah terjaga darah-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali dengan haknya (yakni hak syahadat tersebut, -red)". (HR. Bukhori & Muslim)

Ke-enam, bahwa syirik merupakan dosa besar yang paling besar, Rasulullah 'Alaihish Sholaatu Wassalam bersabda:

"Maukah aku beritakan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar?” (jawab para shahabat): “Tentu yaa Rasulallah”, kemudian Rasulullah 'Alaihish Sholaatu Wassalam menerangkan: “Yaitu berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua". (HR. Bukhori & Muslim)

Al 'Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Al Jawaabul Kaafi hal.109 beliau menyatakan: bahwa Allah Ta'ala telah mengabarkan kepada kita tentang tujuan penciptaan dan perintah; yaitu untuk mengenal nama-namaNya yang Maha Agung dan sifat-sifatNya yang Maha Mulia dan perintah hanya beribadah kepadaNya semata serta berlepas diri dari kesyirikan. Dengan demikian manusia dapat menegakkan keadilan yakni keadilan yang tegak dilangit dan dibumi. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan), supaya manusia dapat menegakkan keadilan". (Al Hadiid: 25)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengabarkan bahwa Dia mengutus para RasulNya dan menurunkan kitabNya; agar manusia mau menegakkan keadilan yaitu At Tauhid menjadikan Allah sebagai satu-satunya pihak yang berhak disembah dalam segala peribadatan dan yang demikian ini merupakan puncak keadilan. Adapun kesyirikan sebagai puncak kedzaliman. Allah Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya perbuatan syirik itu merupakan kedzaliman yang besar". (Luqman: 13)

Ayat ini menunjukkan bahwa syirik merupakan puncak kedzaliman dan tauhid merupakan puncak keadilan. Dan perbuatan syirik merupakan dosa besar yang paling besar; karenanya Allah mengharamkan surga atas kaum musyrikin, kemudian menghalalkan darah dan harta mereka untuk ditumpahkan dan dirampas, serta menjadikan keluarga mereka sebagai hamba sahaya (budak) bagi orang-orang yang bertauhid. Dengan sebab itulah Allah Subhanahu Wa Ta'ala enggan menerima amalan orang-orang yang hidupnya penuh dengan kesyirikan, Allah enggan memberikan kepada mereka syafa'at, enggan mengabulkan doa-doa mereka diakhirat kelak dan enggan untuk menerima harapan mereka. Karena sesungguhnya mereka ini adalah sebodoh-bodoh manusia yang paling bodoh tentang Allah; yaitu ketika mereka mencoba untuk menjadikan makhluk-makhlukNya sebagai sekutu dan tandingan-tandingan selainNya. Walhasil ini merupakan tindakan yang sangat dungu dan dzalim, yakni kedunguan dan kedzaliman atas diri-diri mereka sendiri kaum musyrikin.

Dan yang terakhir, bahwa kesyirikan sebagai bentuk kekurangan dan keaiban, dimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah mensucikan diriNya dari kedua hal tersebut. Dengan demikian barangsiapa berbuat kesyirikan, sungguh dia telah menganggap bahwa Allah tidaklah mensucikan diriNya dari segala kekurangan dan keaiban. Anggapan yang demikian ini merupakan penyimpangan yang dahsyat dan bentuk pembangkangan terhadap apa yang telah Allah tetapkan. (Bersambung, Insya Allah klasifikasi syirik).

Klasifikasi Syirik :

Syirik terbagi menjadi dua jenis :

Jenis yang pertama ialah Syirik Akbar (syirik besar). Konsekuensi dari perbuatan syirik besar ini dapat mengeluarkan seseorang dari agamanya, dan jika pelakunya mati dan belum sempat bertaubat daripadanya, maka kekekalan baginya di neraka.

Syirik besar ialah memalingkan niat dan tujuan dalam segala bentuk peribadatan kepada selain Allah. Seperti berdoa, bertaqorrub (mendekatkan diri), penyembelihan serta nazar yang diniatkan dan ditujukan untuk selain Allah; dalam wujud kuburan-kuburan, para jin dan para syaithon. Demikian juga dalam hal ini ialah takut dari jin dan para syaithon, dengan anggapan bahwa mereka ini secara mutlak dapat mematikan atau mendatangkan kemudhorotan dan menjadikan diri seseorang sakit karenanya. Juga termasuk berharap kepada pihak atau oknum selain Allah dalam perkara yang tidak mempunyai kemampuan dan kekuasaan atasnya kecuali Allah; seperti minta dipenuhi kebutuhannya atau minta dihindari dari segala kesusahan dan kesulitan hidup. Sebagaimana yang kerap terjadi dulu dan sekarang yaitu banyak orang mendatangi kuburan-kuburan para wali atau orang-orang sholih dalam rangka berharap agar kiranya dapat terpenuhi segala kebutuhan hidupnya dan menghindarkannya dari segala bentuk kesusahan dan kesulitan. Allah Ta'ala berfirman :

“Dan mereka menyembah kepada selain Allah yang tidak dapat mendatangkan kemudhorotan bagi mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa'at kami disisi Allah ”. (Yunus: 18)

Jenis yang kedua ialah Syirik Ashghor (syirik kecil). Syirik model yang ke-dua ini tidaklah mengeluarkan pelakunya dari agamanya, akan tetapi berdampak pada ketauhidannya yang akan semakin terkikis dan menipis. Syirik kecil ini mempunyai peranan sebagai wasilah (perantara) yang mengantarkan seseorang kepada syirik besar.

Syirik kecil terbagi menjadi dua jenis:

Yang pertama, Syirik Dzohir (syirik yang tampak). Dikatakan dzohir (tampak) karena dapat terdeteksi oleh panca indera kita; seperti dalam bentuk lafadz pernyataan atau perbuatan-perbuatan. Realisasi dari bentuk lafadz pernyataan ialah seseorang bersumpah dengan nama selain Allah. Rasulullah ‘Alaihish sholaatu wassalam bersabda:

“Barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka sungguh dia telah kufur atau berbuat syirik”. (HR. Tirmidzi dengan sanad yang hasan dan di shohihkan oleh Al Hakim)

Dan juga pernyataan seseorang yang menyatakan: “ Atas kehendak Allah dan kehendakmu (masya Allah wa syi'ta) , Rasulullaah ‘Alaihish sholaatu wassalam ketika mendengar pernyataan itu berkata: “ Apakah engkau mau menjadikan aku sebagai tandingan-tandingan selain Allah! Katakan: “ Atas kehendak Allah saja (masya Allah wahdah) .

Juga pernyataan “Seandainya jika bukan karena Allah dan kamu ”; maka pernyataan yang benar ialah: “Atas kehendak Allah kemudian kehendak kamu”, atau “Seandainya jika bukan karena Allah kemudian karena kamu” . Karena kata kemudian menunjukkan urutan. Yakni menjadikan kehendak seorang hamba itu mengikuti kehendak Allah, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

“Dan tidaklah kamu dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam”. (At Takwir: 29)

Adapun kata “dan” dalam pernyataan diatas ( Atas kehendak Allah dan kehendakmu ) menunjukkan kesetaraan yakni bukan urutan; seperti pernyataan “ Kecuali Allah dan kamu ” atau “ Keberkahan dari Allah dan kamu ”.

Kemudian realisasi dari bentuk perbuatan ialah seperti seseorang memakai gelang atau benang dengan anggapan bahwa jika mengenakan kedua benda tersebut dapat terhindar dari segala malapetaka (bala') dan kerusakan, atau bahkan diyakini dapat menolaknya. Juga seperti menggantungkan jimat-jimat (tamimah) karena takut terkena “pandangan” (‘ain) yang dapat merusak dan semisalnya. Maka dalam hal ini, apabila seseorang mempunyai keyakinan bahwa benda-benda tersebut diatas sebagai sebab-sebab yang dapat menolak bala'; maka ini termasuk syirik kecil. Adapun jika diyakini bahwa benda-benda tersebut dapat menolak bala' dengan sendirinya (yakni bukan sebagai sebab) maka yang demikian ini termasuk syirik besar, karena sesungguhnya dia telah menggantungkan dirinya kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Jenis yang kedua dari syirik kecil ini ialah Syirik Khofiy (syirik yang tersembunyi). Seperti syirik dalam hal niat dan tujuan; contohnya perbuatan riya' (seseorang niat beribadah untuk Allah dan juga diperuntukkan untuk selain Allah yakni mempunyai niatan ingin show -unjuk diri atau pamer- sehingga menjadi perhatian orang banyak ketika menjalankan amalan-amalan ibadah), sum'ah (seseorang niat beribadah untuk Allah dan juga diperuntukkan untuk selain Allah yakni mempunyai niatan ingin didengar orang ketika menjalankan amalan-amalan ibadah). Sama halnya seperti orang yang berniat melakukan suatu amalan untuk Allah dan juga disertai niat untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari manusia; seperti mendramatisir sholatnya, dzikirnya dan bacaan qur'annya (tilawah), sehingga terkesan lebih bagus dan menarik perhatian banyak orang atau bersedekah dengan niatan mendapatkan pujian dan sanjungan handai taulan.

Perbuatan riya' semacam ini merupakan bentuk bercabangnya niat dalam melakukan suatu amalan, sehingga dengan sebab ini amalan yang telah dilakukannya menjadi gugur dan sia-sia belaka. Allah Ta'ala berfirman:

“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhan-Nya, maka hendaknya ia beramal dengan amalan yang sholih dan jangan mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhan-nya”. (Al Kahfi: 110)

Rasulullaah ‘Alaihish sholaatu wassalam bersabda:

Yang paling aku takutkan atas kalian ialah syirik kecil ”. (para shahabat bertanya): “ Wahai Rasulullah apa yang dimaksud syirik kecil itu ”? (Rasulullaah ‘Alaihish sholaatu wassalam menjawab: “ Ar Riya' ”. (HR. Ahmad, Ath Thobroniy dan Al Baghowi dalam Syarhus Sunnah)

Dan juga dalam hal ini termasuk seseorang beramal karena serakah (tamak) dengan dunia.. seperti dia beramal (mengajarkan ilmu syar'i atau berjihad) untuk Allah juga disertai niatan untuk memperoleh dunia, harta dan kekayaan. Rasulullaah ‘Alaihish sholaatu wassalam bersabda:

“Sungguh celaka hamba dinar, celaka hamba dirham dan celaka hamba khomilah (pakaian kemegahan), jika diberi ia senang dan jika tidak diberi ia marah”. (HR. Al Bukhori)

Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Syirik dalam hal niat dan tujuan bagai samudera tak bertepi dan sangat sedikit sekali orang yang selamat daripadanya”. Maka barangsiapa yang beramal dengan niat dan tujuan untuk selain wajah Allah dan juga menuntut pamrih dari seseorang, sungguh dia telah berbuat kesyirikan. Sedangkan Al Ikhlas maknanya ialah memurnikan niat beribadah kepada Allah dalam segenap perkataan, perbuatan, niat serta tujuan. Dan inilah yang dinamakan sikapHanif yakni monoloyalitas (kecenderungan total) kepada Allah dan apa-apa yang dicintai oleh Allah. Sikap hanif ini yang di usung nabiyullah Ibrahim ‘Alahissalaam, dan Allah memerintahkan segenap hambaNya untuk mempunyai mental hanif dengan mengikuti napak tilas nabiyullah Ibrahim ‘Alaihissalaam. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan hambaNya jika tidak didasari mental hanif tersebut, inilah hakikat syari'at Islam yang sesungguhnya. Sebagaimana Firman Allah Ta'ala:

“Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (Al ‘Imron: 85)

Demikian gambaran agama Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam, maka barangsiapa yang membencinya; ketahuilah bahwa dia sebodoh-bodoh manusia. (Al Jawaabul Kaafi hal 115)

Berikut ringkasan pembahasan diatas, perbedaan antara syirik besar dan syirik kecil:

Syirik besar dapat mengeluarkan seseorang dari agamanya, sedangkan syirik kecil tidaklah mengeluarkan seseorang dari agamanya.

  1. Syirik besar mengekalkan pelakunya dineraka jika dia mati dan belum sempat bertaubat daripadanya, namun syirik kecil tidaklah mengekalkan pelakunya dineraka.
  2. Syirik besar dapat menggugurkan segenap amalan-amalan sholih yang pernah dilakukannya, adapun syirik kecil hanya menggugurkan amalan-amalan riya', sum'ah dan semisalnya.
  3. Pelaku syirik besar boleh untuk ditumpahkan darahnya dan dirampas hartanya, sedangkan pelaku syirik kecil tidaklah demikian.

Kitabut Tauhid Hal. 9-10 Syaikh Sholih Bin Fawzan Al Fawzan Hafidzohullah Penterjemah : Fikri Abul Hassan

Kitabut Tauhid Hal. 9-10 Syaikh Sholih Bin Fawzan Al Fawzan Hafidzohullah Penterjemah : Fikri Abul Hassan

Mutiara Akhlaq

Mutiara Akhlaq

Akhlaq itu maknanya ialah perangai atau sikap zahir ataupun batin pada diri manusia. Sedangkan perangai atau sikap itu baik dhahir maupun batin berkaitan dengan apa yang diistilahkan dengan hablum minallah (hubungan dengan Allah Ta'ala) dan hablum minan nas (hubungan dengan sesama manusia). Allah Ta'ala telah menegaskan prinsip akhlaq dalam kerangka hablum minallah dan hablum minan nas ini dalam firman-Nya sebagai berikut:

“Mereka telah ditimpa kehinaan di mana pun mereka berada, kecuali bila mereka menyambung hubungan dengan Allah ( hablum minallah ) dan dengan sesama manusia ( hablum minannas ). Dan mereka juga ditimpa dengan kemurkaan dari Allah dan ditimpa pula oleh kemiskinan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi-nabi dengan tidak benar. Yang demikian itu karena akibat dari kedurhakaan yang mereka lakukan dan mereka adalah orang yang melampaui batas.” ( Ali Imran : 112) Ayat ini memberitakan berbagai malapetaka yang telah menimpa Bani Israil sebagai akibat dari berbagai kedurhakaan mereka kepada Allah dan kepada para Nabi-Nabi-Nya, sehingga mereka harus mengalami malapeteka kehinaan, kemiskinan, dan kemurkaan dari Allah. Maka telah diberitakan oleh-Nya bahwa jalan keluar dari segala malapetaka yang mengepung mereka itu adalah dengan membangun kembali hablum minallah dan hablum minan-nas. Sehingga jadilah keduanya sebagai kerangka akhlaq dalam membangun kehidupan yang seutuhnya bagi masyarakat manusia di dunia ini. Oleh karena itu kita harus mengerti apa sesungguhnya hablum minallah dan hablum minan nas itu, untuk mengerti kerangka akhlaqul karimah (akhlaq yang mulia) dan kemudian kriterianya pula yang kita pahami dari Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shalih.

PENGERTIAN HABLUM MINALLAH DAN HABLUM MINAN-NAS

Kalau dimaknakan secara bahasa, hablum minallah itu adalah hubungan dengan Allah dan hablum minan-nas adalah hubungan dengan manusia. Akan tetapi dalam pengertian istilah syari'ah maknanya adalah sebagai berikut:

1). Hablum minallah , maknanya ialah perjanjian dari Allah. Yaitu masuk Islam atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan akherat. Atau tunduk kepada pemerintahan Muslimin dengan jaminan dari pemerintah itu sebagaimana yang diatur oleh Syari'ah dalam perkara hak dan kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang menjadi warga negara Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya sebagai manusia di dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat ancaman adzab di akhirat. (Lihat Tafsir At-Thabari , Tafsir Al-Baghawi , dan Tafsir Ibnu Katsir tentang pengertian surat Ali Imran 112).

2). Hablum minan-nas , maknanya ialah perjanjian dari kaum Mukminin dalam bentuk jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi dengan membayar upeti bagi kaum Mukminin melalui pemerintahnya untuk hidup sebagai warga negara Islam dari kalangan minoritas non Muslim. Atau dengan bahasa lain ialah dalam berinteraksi dengan sesama manusia, maka jaminan yang bisa dipercaya hanyalah dari kaum Muslimin yang dibimbing oleh Syari'at Allah Ta'ala.

Dengan demikian, akhlaqul karimah dibangun di atas kerangka hubungan dengan Allah melalui perjanjian yang diatur dalam Syari'at-Nya berkenaan dengan kewajiban menunaikan hak-hak Allah Ta'ala dan juga kerangka hubungan dengan sesama manusia melalui kewajiban menunaikan hak-hak sesama manusia baik yang muslim maupun yang kafir. Dari kerangka inilah kemudian diuraikan kriteria akhlaqul karimah . Hak-hak Allah itu ialah mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu menunaikan tauhidullah dan menjauhi syirik , mentaati Rasul-Nya dan menjauhi bid'ah (yakni penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah sesungguhnya prinsip utama bagi akhlaqul karimah , yang kemudian dari prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dipuji dan disanjung oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:

“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang agung.” ( Al-Qalam : 4)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:

“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia itu ada pada Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam , pengertiannya adalah pengamalan segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah perintahkan dengan mutlak.” ( Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman 658).

Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran Allah yang ada di dalam Al-Qur'an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah Ummul Mu'minin radliyallahu `anha :

“Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur'an.” (HR. Muslim ).

Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah menerangkan tentang pengertian daripada pernyataan A'isyah ini sebagai berikut:

“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab yang diajarkan oleh Al-Qur'an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga segenap larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari kemuliaan akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” ( Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah , jilid ke dua hal. 194).

Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:

“Sesungguhnya seorang Mu'min itu akan bisa mencapai derajat amalan puasa dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan nya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A'isyah radliyallahu `anha ).

Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi rahimahullah dalam kitabnya Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan makna hadits tersebut di atas:

“Orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi keutamaan yang besar seperti ini, karena memang orang yang puasa dan orang yang shalat malam adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian pula orang yang akhlaqnya baik terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia itu beraneka ragam tabiatnya juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan tetap dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus berjihad melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan demikian, Mu'min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat malam. Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang derajatnya lebih tinggi.” ( Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13 halaman 154).

Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menegaskan tentang keutamaan orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam sabda beliau sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Adab bab Husnul Khuluq was Sakha' wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035 dari Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).

BEBERAPA AKHLAQ YANG TERCELA MENURUT PANDANGAN ISLAM

Setelah kita mengerti kerangka dan kriteria akhlaqul karimah , kita perlu mengerti pula kerangka dan kriteria akhlaqudz dzamimah (yakni akhlaq yang tercela). Agar kita dapat lebih dalam lagi memahami akhlaqul karimah , sehingga dapat lebih mudah lagi mengamalkannya. Akhlaq yang tercela telah dipaparkan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, adalah dalam rangka menimbulkan perasaan anti pati dalam diri kita terhadapnya.

Adapun akhlaqudz dzamimah , tumbuh dalam kerangka perbuatan kemusyrikan dan kebid'ahan dan dalam rangka mengekor kepada hawa nafsu. Karena itu kita dapati, bahwa Islam amat mencela perbuatan syirik, bid'ah dan mengekor kepada hawa nafsu. Segala kerusakan akhlaq, adalah bersumber dari ketiganya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai berikut:

1). Syirik sebagai kedhaliman yang paling besar dan menumbuhkan mental penakut:

“Sesungguhnya syirik itu adalah kedhaliman yang besar.” ( Luqman : 13).

Allah Ta'ala menegaskan pula tentang mental penakut pada orang yang berbuat syirik:

“Kami akan memasukkan rasa takut yang dahsyat dalam hati orang-orang kafir akibat perbuatan mereka menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya yang tidak diperintahkan oleh-Nya. Dan tempat kembali mereka itu adalah neraka, sebagai tempat kembali yang sejelek-jeleknya bagi orang-orang yang berbuat dhalim.” ( Ali Imran : 151).

2). Bid'ah sebagai sumber kesesatan dan penyimpangan agama, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam :

“Dan hati-hatilah kalian dari perkara yang dibikin-bikin dalam agama, karena semua yang dibikin-bikin itu adalah bid'ah dan semua yang bid'ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dalam Sunan keduanya).

3). Hawa nafsu, sebagai sebab terbesar terjadinya kemusyrikan dan kebid'ahan serta segala penyimpangan lainnya. Allah Ta'ala menegaskan tentang betapa jahatnya orang yang selalu menuruti hawa nafsunya:

“Tidakkah engkau melihat orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Apakah engkau akan menjadi pembela terhadap mereka ini? Apakah engkau menyangka bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan memikirkan apa yang engkau sampaikan, mereka itu tidak lain keadaannya seperti binatang ternak atau bahkan lebih rendah.” ( Al-Furqan : 43 – 44).

Menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan itu maknanya ialah menuruti selera hawa nafsu itu apapun yang dimaukannya. (Lihat Tafsir At-Thabari tentang ayat-ayat tersebut).

Dari tiga akhlaq yang tercela ini, muncullah berbagai pelanggaran akhlaq, karena dengan ketiganya disingkirkanlah otoritas agama sebagai pengatur dan pembimbing kehidupan di dunia ini. Sehingga muncullah segala malapetaka pada segenap aspek kehidupan ummat manusia seperti sekarang ini.

MUTIARA-MUTIARA AKHLAQ YANG TELAH HILANG

Dalam rangka otokritik (kritik kepada kalangan sendiri), tulisan ini disajikan kepada segenap pembaca yang budiman. Sebagai upaya kita berjihad memperbaiki nasib Ummat Islam yang semakin terpuruk dari masa ke masa dalam pergaulan universal. Imam Malik bin Anas rahimahullah menyatakan kemestian problem solving bagi ummat ini:

“Tidak akan menjadi baik urusan ummat ini kecuali dengan yang telah memperbaiki pendahulunya.” Pendahulu ummat ini adalah para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam . Sedangkan yang telah memperbaiki nasib penduhulu ummat ini adalah ketika mereka beriman dan beramal dengan bimbingan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Itulah yang terus kita perjuangkan dan berikut ini kita berusaha mengenali kekurangan diri kita sendiri agar kita berpeluang memperbaikinya. Yaitu mutiara-mutiara akhlaq yang hilang dari pergaulan kita. Semoga dengan kita menyadari kehilangan barang berharga tersebut, kita akan berusaha menemukannya kembali, dan mutiara itu bersinar lagi dalam pergaulan kita. Inilah data barang hilang itu:

1). Al-Ikhlas , yaitu kemurnian tauhid dari segala noda syirik dalam beribadah kepada Allah Ta'ala. Noda syirik itu dengan segenap jenisnya akan merusakkan keikhlasan kita dalam beribadah kepada-Nya. Sedangkan jenis-jenis syirik itu adalah:

a). Syirik akbar atau syirik besar, yaitu mempersembahkan amalan ibadah kepada selain Allah disamping mempersembahkannya kepada Allah. Syirik akbar ini membatalkan keislaman pelakunya dan tentu membatalkan keikhlasannya pula. Syirik akbar ini contohnya ialah sujud dan ruku' kepada selain Allah, berdoa kepada selain-Nya, thawaf mengelilingi tempat yang dikeramatkan selain Ka'bah seperti thawaf di kuburan wali dan lain-lainnya. Dan masih banyak lagi contoh perbuatan syirik akbar .

b). Syirik asghar atau syirik kecil, yaitu mempunyai niat amalan shalih selain untuk Allah juga untuk yang selain-Nya. Atau menyandarkan diri dalam upaya mencapai keberuntungan dan juga usaha untuk menghindarkan diri dari mara bahaya kepada selain Allah di samping kepada Allah. Contohnya seperti riya' (yakni diniatkan amalannya untuk dilihat atau dipuji orang), juga meyakini keselamatan rumahnya dari pencuri karena ada anjing penjaga padanya atau ada angsa yang selalu bersuara keras bila ada orang yang tidak dikenalnya. Dan termasuk dalam katagori syirik asghar , ialah bila seseorang beramal dengan amalan akhirat, tetapi dia niatkan dengannya untuk mendapatkan kepentingan dunia. Semua itu adalah syirik asghar yang merusakkan keikhlasan pelakunya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh amalan syirik asghar selain apa yang tersebut di atas.

c). Syirik khafi atau syirik yang tersembunyi, yaitu amalan syirik yang tersamar pada kebanyakan orang karena tampaknya seolah-olah perbuatan itu ikhlas untuk Allah semata padahal ada niat sampingan yang tersembunyi untuk selain Allah. Hal ini disadari oleh sedikit orang yang dirahmati Allah dan segera dia bertaubat kepada-Nya untuk memurnikan kembali keihkhlasannya yang telah dirusak oleh syirik khafi tersebut. Tetapi kebanyakan orang amat sulit merasakannya dan baru dia mengerti setelah adanya penyimpangan yang jauh dari niat ikhlasnya untuk Allah dan sulit untuk memurnikan kembali niatnya karena telah terkait dengan kepentingan dunia amalan ibadahnya dan hancurlah keikhlasannya untuk Allah karenanya. Kebanyakan syirik khafi ini dimulai dari syirik asghar dan kemudian berkembang sampai pada tingkat syirik akbar . Contohnya ialah seorang yang berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah. Tetapi diam-diam dia mempunyai agenda tertentu untuk meraih keuntungan dunia melalui jalan dakwah. Atau orang yang berjihad di jalan Allah, disamping niatnya untuk meraih keridlaan Allah juga mempunyai niat lain dari kepentingan dunia. Sehingga akhirnya sampai pada tingkat tujuannya mencapai kepentingan dunia mengalahkan niatnya untuk meraih ridla Allah.

Demikian bahayanya syirik itu dalam merusakkan atau bahkan menghancurkan samasekali keikhlasan seorang mukmin dalam beribadah atau beramal shalih. Semakin tersembunyinya syirik itu bagi kebanyakan orang, maka semakin besar pula bahayanya. Tetapi sayang, di hari ini semua jenis syirik yang tiga itu telah mewabah pada kebanyakan kaum Muslimin. Bahkan telah mendominasi kehidupan mereka. Sehingga kaum Muslimin tidak ada lagi wibawanya di hadapan musuh-musuhnya. Karena yang muncul di tengah-tengah kaum Muslimin adalah orang-orang oportunis yang membonceng kepada kepentingan agama demi mencapai kepentingan dunia. Sedikit sekali orang yang benar-benar ikhlas karena Allah dalam beragama ini. Karena memang perbuatan ikhlas itu telah menjadi amalan yang amat berat dalam kehidupan ummat ini di masa kini. Lebih jelasnya, makna ihklas itu telah amat sulit diterapkan pada ummat ini. Karena telah sedikit sekali orang yang mengerti makna ikhlas dengan lengkap dikarenakan semakin malasnya ummat ini untuk belajar agama. Al-Imam Abu Utsman Said bin Ismail rahimahullah telah menerangkan dengan lengkap tentang makna ikhlas yang sesungguhnya sebagai berikut:

“Makna sesungguhnya keikhlasan itu ialah bila seorang Muslim dalam beramal shalih, selalu mengabaikan penglihatan makhluk terhadap amalan itu karena terus-menerus menumpahkan perhatian kepada penglihatan Al-Khaliq (sang Pencipta). Dan ikhlas itu ialah bila engkau beramal shalih, hatimu menginginkan ridla Allah semata dari amalan, ilmu serta dari perbuatan itu. Karena engkau takut kemurkaan Allah dengan sebab ilmu yang ada padamu dan Allah terus-menerus melihat engkau. Sehingga dengan itu akan hilanglah dari hatimu riya'. Kemudian engkau selalu ingat berbagai kenikmatan Allah atasmu, karena Dia telah memberimu taufiq (bimbingan) untuk kamu memilih amalan itu sehingga hilanglah rasa ‘ujub (yakni rasa bangga diri) dari hatimu. Dan kemudian engkau menggunakan kelembutan dalam beramal itu sehingga hilanglah dari hatimu ketergesa-gesaan. Karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah Allah jadikan kelembutan pada sesuatu kecuali akan memperindah sesuatu itu dan tidaklah Ia mencabut kelembutan itu dari sesuatu, kecuali akan memburukkannya.”

Selanjutnya Abu Utsman menerangkan: “Dan ketergesa-gesaan itu adalah sikap orang yang mengikuti hawa nafsu, sedangkan kelembutan itu adalah sikap orang yang mengikuti sunnah (yakni ajaran Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam ). Bila engkau telah selesai menjalankan amalanmu dengan cara demikian, hatimu terasa penuh ketakutan dari kemungkinan Allah menolak amalanmu dan tidak menerimanya. Hal ini sebagaimana diberitakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:

“Dan orang-orang yang bila mengerjakan suatu amalan, hati mereka akan penuh ketakutan karena mereka yakin akan kembali ke Tuhan mereka.” ( Al-Mu'minun : 60).

Kemudian Abu Utsman menegaskan: “Barang siapa yang mengumpulkan empat perkara ini dalam amalannya, maka sungguh dia adalah orang yang berbuat ikhlas dalam amalannya insya Allah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman jilid 5 halaman 348 riwayat ke 6885 – 6886)

Empat perkara yang merupakan ciri keikhlasan seseorang yang bisa dirasakan oleh orang yang sedang beramal itu sendiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Utsman Sa'ied bin Ismail tersebut di atas, bila diringkaskan adalah sebagai berikut:

a). Ar-Ru'yah , yakni merasa yakin bahwa amalannya sedang dilihat dan diawasi oleh Allah Ta'ala.

b). Ar-Raja' , yakni mengharapkan ridla Allah semata untuk menerima amalan itu dan memberinya pahala.

c). Ar-Rifeq, yakni kelembutan dan kehati-hatian dalam menjalankan amalan itu dan tidak tergesa-gesa.

d). Al-Khauf, yakni takut kalau amalannya itu tidak diterima oleh Allah Ta'ala.

Betapa jarangnya kaum Muslimin yang memenuhi hatinya dengan empat perkara tersebut ketika beramal shalih. Bahkan sebaliknya, yang diharapkan ialah pengakuan manusia, yang ditakutinya ialah kemarahan atau pengucilan handai taulan karib kerabat terhadapnya, cenderung kasar dan tergesa-gesa membikin keputusan, serta penuh rasa ujub (bangga diri) dalam beramal dan mengharapkan acungan jempol banyak orang.

Jadi, mutiara ikhlas telah hilang dari kita dan gantinya adalah kemunafikan dalam bentuk sikap beragama dua muka yang berbeda antara satu muka dengan muka yang lainnya. Tampaknya sedang beramal dengan amalan shaleh untuk Allah, tetapi hatinya penuh agenda tersendiri untuk meraih kedudukan di sisi manusia. Hal ini telah dikeluhkan oleh para Shahabat Nabi di jaman Ta'biin (yaitu zaman sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam tetapi para shahabat beliau masih hidup). Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhu menjelaskan tentang sikap dua muka orang munafiq itu, dalam riwayat berikut ini:

Dari Abi Yahya mengatakan: Pernah Hudzaifah ditanyai: “Apakah yang dinamakan munafiq itu?” Beliau menjawab: “Munafiq itu adalah orang yang berbicara tentang Islam tetapi dia tidak beramal dengannya.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 halaman 296 riwayat ke 928).

Ini menunjukkan bahwa si munafiq itu ketika berbicara tentang Islam, sama sekali tidak ada keikhlasan untuk merasa terikat dengannya sehingga Islam hanya dibibirnya saja tetapi tidak ada realisasinya dalam amalannya.

Kemudian Hudzaifah memperingatkan: “Akan datang suatu masa pada kaum Muslimin, dimana pada waktu itu bila engkau melempar anak panah di hari Jum'at (yaitu ketika banyak orang berkumpul di masjid untuk menunaikan kewajiban shalat Jum'at), maka anak panah itu tidak mengena kecuali orang kafir atau orang munafiq.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 1 halaman 179 riwayat ke 9).

Yakni mayoritas orang yang ada di masjid-masjid pada hari Jum'at itu adalah orang-orang Islam yang telah batal keislamannya karena berbagai kemusyrikan yang dilakukannya sehingga jadilah dia kafir karenanya. Atau kalau tidak demikian maka yang paling ringan adalah orang Islam yang tidak lagi mempunyai keyakinan dan keikhlasan dalam beragama sehingga jadilah dia sebagai orang munafiq karenanya. Masyarakat Muslimin yang telah kehilangan mutiara-mutiara akhlaq dan juga amat rendah pengetahuannya serta pengamalannya tentang agama. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memberitahukan bahwa orang munafiq itu tidak akan mempunyai perangai yang mulia dan tidak akan pula mengerti ilmu agama. Hal ini telah diberitakan olehnya dalam sabdanya:

“Dua perkara yang tidak mungkin ada pada orang munafiq, yaitu perangai yang baik dan paham agama.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan nya hadits ke 2684 dari Abi Hurairah).

Ini menunjukkan bahwa akhlaq yang mulia akan hilang dengan hilangnya keikhlasan dan munculnya kemunafikan. Demikian pula akan terjadi sikap ummat Islam yang mengabaikan ilmu agama ketika tumbuh subur di kalangan mereka mental munafiq.

Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhuma menyatakan: “Sesungguhnya seorang Muslim masuk ke rumah penguasa dalam keadaan masih ada Iman dan Islam pada dirinya, tetapi ketika dia keluar dari padanya dalam keadaan tidak lagi tersisa padanya agamanya sedikit pun.” Ditanyakan kepada beliau: “Mengapa demikian wahai Abu Abdur Rahman?” Beliau menjawab: “Karena dia di hadapan penguasa itu berusaha menyenangkannya dengan perkara yang dibenci oleh Allah.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 halaman 694 riwayat ke 924).

Demikianlah kenyataannya, dunia politik praktis sering mendidik kaum Muslimin melakukan basa-basi politik atau tegasnya sikap menjilat kepada penguasa sehingga kosong dari keikhlasan. Bahkan sikap menjilat itu dilakukan dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah atau dengan tenang menginjak-nginjak hukum Allah demi mendapatkan restu penguasa itu. Yang demikian itu adalah kemunafikan yang menghancurkan keikhlasannya dalam beragama.

Pernah pula ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang orang yang menemui penguasa dan di hadapan penguasa itu dia memuji-mujinya. Tetapi ketika dia keluar dari tempat kediaman penguasa itu, dia mencaci-maki penguasa tersebut. Bagaimana perbuatan orang yang demikian ini? Beliau menjawabnya: “Kami para shahabat Nabi menganggap perbuatan yang demikian ini di zaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam sebagai kemunafikan.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 hal. 693 – 694 riwayat ke 921).

Semuanya telah terjadi di hadapan kita dan di masyarakat kita dan mutiara ikhlas itu memang telah hilang dari kita.

Syaikh Abdurrahman bin Al-Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah dalam Fathul Majid halaman 185 jilid ke 2 menukil omongan kakeknya (yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ): “Diperingatkan agar orang yang berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah harus menjaga keikhlasannya. Karena banyak orang yang tampaknya menyeru kepada kebenaran, kemudian ternyata dia menyeru orang untuk memuliakan si juru da'wah itu sendiri.”

Orang-orang yang beramal shalih tetapi mempunyai niat bercabang antara niat untuk Allah dan juga untuk yang lain-Nya, akan berhadapan dengan pengadilan Allah di hari Mahsyar di hari kiamat dan di sana Allah menyatakan menolak sama sekali semua amalan yang niatnya bercabang seperti itu. Hal ini telah diberitakan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabda beliau sebagai berikut:

“Sesungguhnya manusia pertama yang akan diadili perkaranya oleh Allah di hari kiamat adalah seorang pria yang syahid (terbunuh dalam pertempuran membela agama Allah), kemudia orang itu didatangkan di hadapan Allah dan kemudian diperkenalkan kepadanya segenap nikmat-Nya yang dilimpahkan kepadanya dan dia mengakui semua nikmat itu. Kemudian ditanyakan kepadanya: “Apa yang telah engkau amalkan dengan nikmat itu?” Dia menjawab: “Aku berperang di jalan-Mu dan aku terbunuh sebagai syahid.” Allah menyatakan kepadanya: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau telah berperang agar engkau dikatakan sebagai pemberani. Dan sungguh telah dikatakan demikian.” Kemudian diperintahkan agar diseret orang tersebut pada wajahnya sehingga dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan pula seorang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya dan membaca Al-Qur'an untuk dihadapkan kepada Allah. Diperkenalkanlah kepadanya berbagai kenikmatan-Nya kepadanya dan dia mengakui segala limpahan kenikmatan itu dari-Nya. Allah menanyakan kepadanya: “Apa yang engkau telah lakukan dengannya?” Orang ini pun menjawab: “Aku telah belajar ilmu agama dan aku mengajarkannya dan aku membaca Al-Qur'an semata-mata untuk-Mu.” Maka Allah menjawabnya: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau belajar agama agar engkau dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan memang telah dikatakan demikian. Dan engkau membaca Al-Qur'an agar dikatakan sebagai ahli baca Al-Qur'an, dan memang telah dikatakan demikian.” Maka Allah perintahkan agar orang ini diseret pada wajahnya dan kemudian dia dilemparkan ke neraka. Didatangkan pula pada waktu itu seorang yang dilapangkan rizkinya oleh Allah dan diberi limpahan harta dengan segala jenisnya. Orang tersebut dihadapkan kepada Allah dan dikenalkan kepadanya berbagai kenikmatan-Nya yang telah dilimpahkan kepadanya, dan dia mengakuinya. Maka Allah tanyakan kepadanya: “Apa yang telah engkau lakukan dengan berbagai kenikmatan itu?” Diapun menjawab: “Aku tidak membiarkan satu jalan pun yang Engkau senangi, kecuali aku selalu belanjakan hartaku padanya untuk-Mu.” Allah menyatakan kepadanya: “Engkau telah berdusta. Engkau lakukan semua itu adalah untuk engkau dikatakan dermawan dan memang telah dikatakan demikian.” Kemudian diperintahkan untuk orang ini diseret pada wajahnya sehingga dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih nya hadits nomor 1905 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu juz 13 hlm. 44 bab Man Qotala li ar-Riya'i wash Shum'ati istahaqqon-nari ).

Demikianlah, betapa celakanya orang yang beramal shalih dengan amalan-amalan yang besar tetapi niatnya tidak ikhlas karena Allah Ta'ala bahkan niatnya bercabang dengan berbagai niat yang lainnya. Maka “ikhlas” itu sebagai mutiara akhlaq yang dapat ditumbuhsuburkan melalui pembekalan ilmu Tauhid dengan mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-Nya dan mempersembahkan segenap amalan shalih hanya untuk Allah semata serta membersihkan Tauhid dari segenap noda syirik.

2). As-Shidqu , yakni kejujuran. Yaitu kejujuran dalam menyatakan iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta kejujuran dalam segala perkara yang diwajibkan oleh agama kita. Kejujuran yang dimaksud di sini ialah samanya pernyataan lisan dengan apa yang diyakini oleh hati dan sama antara keadaan tersembunyi dengan keadaan di hadapan orang ramai. Kalau lawan daripada Al-Ikhlash adalah An-Nifaq (yakni kemunafikan), maka lawan dari As-Shidqu adalah Al-Kadzib (yakni kedustaan). As-Shidqu itu adalah sumber segala amalan baik, sedangkan Al-Kadzib itu adalah sumber segala amalan jahat. Hal ini telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabda beliau sebagai berikut:

“Sesungguhnya As-Shidqu itu membimbing orang kepada amalan shalih dan amalan shalih membimbing pelakunya kepada surga. Dan sesungguhnya seorang itu terus-menerus berbuat shidiq (yakni jujur) sehingga ditulis di sisi Allah sebagai shiddiq (yakni orang yang selalu berbuat jujur). Dan sesungguhnya dusta itu membimbing orang kepada amalan jahat, dan sesunguhnya amalan jahat itu membimbing pelakunya ke neraka. Dan seseorang itu terus-menerus berdusta, sehingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari Abdullah bin Mas'ud).

Diberitakan pula oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam tentang ciri-ciri as-shidqu itu adalah ketentraman pada pelakunya dan sebaliknya ciri-ciri kedustaan itu ialah kebimbangan pada pelakunya:

“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu dan berpeganglah dengan apa yang tidak meragukan kamu, karena As-Shidqu (kejujuran) itu menyebabkan ketentraman pada pelakunya dan dusta itu menyebabkan kebimbangan pada pelakunya.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan nya dari Al-Hasan bin Ali).

Al-`Allamah Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan makna hadits ini sebagai berikut: “Maknanya ialah: Tinggalkanlah apa yang engkau ragu padanya baik dari perkataan maupun dari perbuatan, ragu apakah ia terlarang ataukah ia tidak terlarang, apakah ia sunnah ataukah ia bid'ah. Tinggalkanlah yang demikian keadaannya dan condonglah kamu kepada apa yang engkau tidak ragu padanya. Yang dimaksud dengan perintah ini ialah bahwa setiap mukallaf hendaknya membangun keyakinan agamanya di atas keyakinan ilmiah setelah melakukan upaya penelitian dalil untuk mencapai kepastian. Dan hendaknya setiap orang itu di atas ilmu dalam beragama.” ( Tuhfatul Afwadzi bi Syarah Jami'it Tirmidzi jilid 7 hal. 221).

Demikianlah mestinya sikap shidiq dalam beragama, sehingga akan menimbulkan ketenangan di hati dalam meyakini agamanya dan akan mantap dan penuh semangat dalam mengamalkannya. Adapun orang-orang yang tidak mempunyai akhlaq shidiq dalam beragama, dan banyak bermain-main dengan kedustaan dalam beragama, maka sungguh dia akan hanya menimbulkan fitnah belaka dalam mengamalkan agama. Karena pengamalannya tidak konsisten pada satu sikap, akan tetapi mudah sekali berubah-rubah dari satu sikap kepada sikap yang lainnya tanpa alasan yang jelas. Baru saja orang-orang diperingatkan untuk jangan dekat-dekat dengan si fulan. Alasannya bahwa si fulan itu membawa pemahaman yang sesat. Kemudian dalam tempo sebulan atau dua bulan, sudah berubah lagi dengan seruan untuk mengupayakan ishlah (kerukunan) kembali dengan si fulan yang dituduh sesat itu. Bila ditanyakan, apa alasannya kok terjadi perubahan sikap yang secepat itu? Jawabnya: “Masih menunggu keterangan Ulama'.” Sementara para pendusta yang sedang mempermainkan ummat dengan kedustaannya, terus-menerus berpindah-pindah dari satu Ulama' kepada Ulama' yang lainnya untuk memperoleh pembenaran terhadap kedustaannya dengan melakukan penipuan kepada para Ulama' tersebut. Bila mendapat jawaban dari seorang Ulama' yang tidak sesuai dengan manuver kedustaannya, maka tentunya jawaban itu segera disembunyikan atau tidak berselera untuk menyebarkannya. Akan tetapi bila dia berhasil mendapatkan jawaban yang sesuai dengan hawa nafsu kedustaannya, segeralah jawaban itu disebarluaskan ke semua pihak disertai dengan anjuran untuk mengikuti Ulama'. Betapa celakanya ummat ini ketika dakwah kepada sunnah (ajaran) Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dijadikan bulan-bulanan permainan kotor para pendusta. Inilah kenyataan pahit yang sedang berlangsung di generasi kita. Dan mutiara As-Shidqu adalah mutiara akhlaq yang telah hilang dari kehidupan kita. Sehingga yang sedang mewabah adalah Al-Kadzib .

Quo vadis Ummat Islam, barangkali inilah yang sangat dikuatirkan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (beliau adalah Imam dari kalangan tabi'it tabi'in) sebagai mana yang telah diceritakan oleh murid beliau yang bernama Al Faryabi rahimahullah sebagai berikut ini:

“Sufyan Ats-Tsauri bila melihat orang-orang An-Nabath (yakni orang-orang asli Irak tidak punya nasab dan tidak terdidik dalam keluarga yang mulia) mencatat ilmu di majlis ilmu, wajah beliau berubah karena tidak senang. Maka aku pun menanyakannya: “Wahai Aba Abdillah, aku melihat engkau amat keberatan bila melihat orang-orang itu menulis ilmu (yakni ilmu agama), mengapa?” Beliau pun menjawab: “Ilmu agama ini dulunya ada di tangan orang-orang Arab dari kalangan orang-orang mulia. Maka bila ilmu ini telah keluar dari tangan mereka dan berpindah tangan kepada orang-orang nabathi itu dan di tangan orang-orang yang rendah budi pekertinya, maka akan rusaklah agama ini.” (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami' Bayanul Ilmi wa Fadl-lihi jilid 1 hal 620 – 621, riwayat ke 1072)

Maka untuk membangun kembali akhlaq shidiq pada ummat ini, haruslah dibangkitkan keimanan mereka kepada ancaman adzab Allah di dunia dan akhirat terhadap para pendusta. Agar orang yang beriman itu terus-menerus mendidik dirinya untuk selalu bersikap shidiq . Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang menganjurkan sikap shidiq dan mengancam orang yang selalu berdusta, tidak akan bermanfaat bagi orang yang tidak beriman kepada kengerian adzab Allah bagi orang yang berdusta dan tidak beriman pula kepada janji kemuliaan dari-Nya bagi orang yang berbuat shidiq .

3. Al-Amanah , yaitu menunaikan kepercayaan pihak lain kepadanya. Seseorang bila telah dipercaya oleh satu pihak dengan satu perkara, maka orang yang dipercaya tersebut telah mendapat beban amanah yang harus ditunaikan.

Pihak pemberi amanah yang paling tinggi dan paling besar adalah Allah Ta'ala. Hal ini telah diberitakan oleh-Nya dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab 72:

“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah ini kepada langit yang tujuh dan kepada bumi serta gunung-gunung, tetapi semuanya tidak mau menerima tawaran untuk menunaikan amanah itu karena merasa berat untuk memikulnya. Tetapi manusia justru menerimanya. Sesungguhnya manusia itu memang sangat dhalim dan sangat bodoh.” ( Al-Ahzab : 72)

Amanah yang Allah tawarkan itu ialah satu ketentuan yang menyatakan: “Barang siapa menunaikan kewajiban mentaati-Nya maka dia akan mendapatkan pahala dari-Nya dan barang siapa yang tidak menunaikan kewajiban itu maka akan disiksa oleh-Nya.” (Lihat Tafsir At-Thabari tentang ayat ini).

Adapun pihak yang diberi amanah yang paling mulia adalah para Nabi dan para Rasul, sebagaimana hal ini telah diberitakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya di Al-Qur'an surat An-Nahl 36:

“Dan sungguh Kami telah utus pada setiap ummat seorang Rasul yang mengajarkan perintah-Nya agar kalian beribadah hanya kepada Allah dan menjauhkan diri dari para thaghut (yakni segala sesembahan selain Allah). Maka sebagian manusia ada yang mendapatkan petunjuk Allah untuk menunaikan ajaran para Rasul itu dan ada pula dari mereka telah ditentukan atasnya kesesatan. Oleh karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibatnya orang yang mendustakan ajaran para Rasul itu.” ( An-Nahl : 36)

Kemudian setelah kedudukan para Nabi dan para Rasul itu sebagai penerima amanah yang termulia, ialah para Ulama' dan para da'i yang menyeru manusia kepada agama Allah. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur'an surat Fushshilat 33:

“Dan siapakah yang lebih baik omongannya dari orang yang menyeru manusia kepada agama Allah dan beramal shalih dan menyatakan: Sesungguhnya aku termasuk dari golongan orang-orang yang tunduk kepada agama Allah.” ( Fushshilat : 33)

Setelah kedudukan para ulama' dan da'i itu, pihak termulia yang mendapat amanah Allah adalah segenap kaum Mukminin. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur'an surat Ali Imran 110:

“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang diciptakan untuk kebaikan bagi manusia untuk menunaikan misi tugas kalian yaitu menyeru manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dan kalian beriman kepada Allah.” ( Ali Imran : 110)

Sedangkan perkara paling mulia yang diamanahkan kepada kita adalah Islam dan Iman. Tentang keduanyalah kita akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat kelak, yaitu sejauh mana kita menunaikan kewajiban menuntut ilmu agama Allah dan sejauh mana kita beramal dengan ilmu tersebut. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur'an surat Fathir 32:

“Kemudian Kami amanahkan Kitab ini (yakni ilmu yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah) kepada orang-orang yang Kami pilih. Dari mereka yang diberi amanah itu ada yang dhalim terhadap diri mereka sendiri dan dari mereka ada yang sedang (yakni tidak dhalim dan tidak pula lebih baik), ada pula dari mereka yang melampaui yang lainnya dalam kebaikan dengan ijin Allah. Yang demikian itu adalah keutamaan yang besar dari Allah.” ( Fathir : 32)

Demikianlah amanah yang termulia itu, ia datang dari pemberi amanah yang termulia, yaitu Allah Ta'ala. Diberikan amanah itu kepada makhluq Allah termulia, yaitu para Nabi dan para Rasul. Disampaikanlah amanah itu dari mereka kepada orang-orang yang termulia setelah para Nabi dan para Rasul, yaitu para ulama' dan para da'i. Dipercayakan untuk pengamalannya kepada ummat terbaik, yaitu segenap kaum Mukminin yang menjalankan kewajiban amar ma'ruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah Ta'ala dengan cara yang benar menurut-Nya.

Maka bila amanah yang termulia ini ditunaikan dengan baik, penduduk bumi akan hidup dalam kesejahteraan dhahir maupun batin. Akan tetapi bila amanah ini dikhianati, maka akan terjadi malapetaka di muka bumi baik dhahir maupun batin. Dan segala amanah yang lainnya akan dikhianati dengan ditelantarkan segala kemestiannya, sehingga yang merajalela di muka bumi adalah mental khianat dan pada saat itu hilanglah akhlaq menunaikan amanah. Semua malapetaka ini telah diperingatkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits berikut ini:

Seorang Arab dari gunung datang ke majlis Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan bertanya: “Kapan terjadinya hari kiamat?” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Ialah bila diterlantarkannya amanah, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu masih bertanya lagi: “Bagaimana amanah itu dikatakan telah diterlantarkan?” Beliau menjawab: “Bila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah terjadinya hari kiamat.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya bab Kitabul Ilmi hadits ke 59 hari Abi Hurairah).

Begitulah bahayanya kerusakan amanah, yaitu dengan diserahkannya perkara agama ini sebagai amanah yang termulia kepada orang-orang yang bukan ahlinya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam memberitakan tentang keadaan yang paling genting menjelang datangnya hari kiamat ketika amanah menjaga agama Allah telah diabaikan:

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman, dia menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, kapan kita meninggalkan amar ma'ruf dan nahi munkar , padahal keduanya adalah amalan yang pokok bagi orang-orang baik?” Beliau pun menjawab: “Apabila tampak pada kalian apa yang pernah nampak pada Bani Israil ummat sebelum kalian.” Akupun bertanya lagi: “Apakah yang pernah tampak pada mereka?” Beliau menjawab: “Apabila orang-orang baik dari kalian berbasa-basi dengan orang-orang jahat dari kalian dalam kemaksiatan, dan fiqih (yakni ilmu agama) di tangan orang-orang yang paling jahat dari kalian (yaitu orang yang berilmu agama tetapi suka melakukan kemaksiatan), dan negara dipimpin oleh orang-orang kerdil pikirannya (yakni orang-orang yang lemah akal), maka ketika itulah fitnah akan terus-menerus meliputi kalian, dan kalian akan menyerang dan diserang.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Mu'jamul Ausath jilid 1 hal. 51 – 52 riwayat ke 144).

Terhadap hadits ini Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Majma'uz Zawa'id jilid 7 hal. 286 melemahkan sanadnya. Tetapi hadits ini diriwayatkan melalui banyak sanad sehingga menjadi hasan karenanya. Adapun berbagai sanad tersebut adalah sebagai berikut ini:

Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dari Anas bin Malik dalam Jami' Bayanul Ilmi Wa Fadl-lih jilid 1 dengan membawakan beberapa sanad di halaman 610 – 612, riwyat ke 1048 hingga 1050. Juga Ibnu Majah dalam Sunan nya dari Anas bin Malik hadits ke 4015. Al-Hafidh Abu Nu'aim Al-Asfahani meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik pula dalam Al-Hilyah jilid 5 hal 185. Ibnu Abid Dunya meriwayatkan hadits ini dari A'isyah Ummul Mukminin dalam Kitabul Amri bil Ma'ruf wan Nahyi ‘anil Munkar riwayat ke 27. Abu Ja'far At-Thahawi meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik dalam Musykilul Atsar juz 4 hal 216 riwayat ke 3658. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkannya dari Anas bin Malik dalam Musnad beliau jilid 3 halaman 187. Al-Hindi membawakan riwayat ini dalam Kanzul Ummal nya jilid 3 halaman 685 riwayat ke 8458 dan beliau menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Ibnu An-Najjar dari Anas bin Malik.

Maka telah jelaslah bagi kita, bahwa bila amanah telah hilang dari akhlaq ummat Islam, kondisi ummat Islam akan sangat terpuruk. Masyarakat cenderung berfikir untuk kepentingan dirinya sendiri dan amar makruf nahi munkar telah mandek. Tawashaw bil haq watawashaw bis shabr (yakni saling menasehati kepada kebenaran dan saling menasehati kepada kesabaran) telah ditinggalkan. Karena ummat Islam telah hilang kepercayaan antara satu dengan yang lainnya, bahkan saling mencurigai di antara sesamanya. Ummat Islam terkotak-kotak dalam bebagai golongan, lengkap dengan pemahamannya masing-masing terhadap agamanya. Inilah perpecahan yang amat dicela oleh Allah dan Rasul-Nya dan dengan sebab ini Allah mengutuk ummat Islam sebagaimana Ia mengutuk ummat-ummat Yahudi dan Nashara. Sehingga musuh-musuh ummat Islam menjadi berani melecehkan dan menghinakan mereka, bahkan mereka dijadikan sebagai bulan-bulanan kejahatan orang-orang Yahudi, Nashara dan musyrikin.

Untuk membangun kembali harga diri dan kewibawaan ummat Islam, haruslah diupayakan dan dipelopori pendidikan agama bagi ummat ini dengan menekankan pada upaya menumbuhkan kepribadian al-amanah bersamaan dengan kepribadian al-ihkhlas dan as-shidiq .

PENUTUP

Demikianlah keresahanku sebagai da'i, aku kemukakan kepada pembaca sekalian sebagai upaya pencerahan terapi penyakit ummat Islam untuk mendapat perhatian semua pihak guna menanggulanginya lebih serius. Agar energi perjuangan ummat Islam lebih efisien lagi karena lebih fokus pada sasarannya yang lebih tepat. Tidak ada alasan bagi para pejuang Islam untuk pesimis ataupun putus asa dalam menatap masa depan perjuangan ini. Estafet perjuangan harus terus-menerus diwariskan kepada anak cucu dengan bara api semangat perjuangan yang tak kunjung padam. Kemenangan dari Allah pasti akan datang di suatu saat yang dikehendaki-Nya. Dia sedang memilih, siapakah dari ummat ini yang paling pantas dilimpahi amanah kemenangan yang agung dari Dzat Yang Maha Agung itu. Berlombalah kita untuk memperbaiki diri agar dipilih oleh Allah Ta'ala menjadi orang yang pantas dilimpahi amanah kemenangan dari-Nya. Kita perbaiki keikhlasan, hiasi diri dengan kepribadian As-Shidqu , dan kita tumbuhkan akhlaq Al-Amanah pada diri kita. Berjuanglah terus, jangan berhenti dan jangan ragu dengan janji Allah. Fajar kemenangan akan terbit sebentar lagi.

.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More